"Nesa balikin cincin, A." Cicit Risma.
"Maksudnya?" Bola mata Arlan membesar.
Risma pun menceritakan alasan Nesa mengembalikan cincin pengikat dari Arlan. Arlan geleng-geleng kepala dengan nafas saling berburu dari tarikan satu ke tarikan selanjutnya.
Arlan lalu segera pamit. Ia sempatkan ke kampus untuk mengajar. Selesai mengajar, ia langsung tancap gas ke Sukabumi.
Sepanjang perjalanan sesekali ia mencengkram setir lalu memukulnya. Ada emosi yang memuncak. Ia tidak habis pikir, tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba Nesa memutuskan hubungan.
Perasaan beberapa hari ini baik-baik aja. Kenapa sih tuh anak angin-anginan banget. Gerutunya.
Sesampainya di rumah Ita, ternyata Nesa belum pulang. Ita lantas meminta Arlan menunggu karena yang ia tahu, Nesa ke toko buku terlebih dahulu sepulang dari kampus bersama Fio.
Setelah lama menunggu, Nesa pun akhirnya pulang. Arlan yang sudah semenjak tadi menahan sakit di kepalanya itu bangkit menyambut Nesa.
Arlan geleng-geleng kepala tepat di hadapan Nesa. Nesa serba salah.
"Kamu kenapa, Nes?" Tanya Arlan sembari mendekat. "Tinggal selangkah lagi kamu malah balik lagi ke titik nol. Mau kamu apa?" Tanya Arlan. Nesa bergeming. "Jawab, Nes."
"Kita kayaknya nggak cocok, A. Nggak mungkin berjodoh."
"SIAPA BILANG?!" Tanya Arlan dengan nada tinggi, membuat Nesa terkejut. Bahkan bukan hanya Nesa tapi juga Ita. Ita sampai keluar kamar mendengar teriakan itu.
"A...." Lirih Nesa.
"Ada apa?!" Tanya Ita tergopoh-gopoh keluar kamar. "Arlan? Nesa?"
"Maaf, Bu." Ucap Arlan pelan.
"Kalian jangan gitu, bicarakan baik-baik. Ayo pada duduk." Ujar Ita. Nesa ajak Arlannya duduk." Titahnya kemudian.
"Iya, Bu." Sahut Nesa lirih. Ita lalu kembali masuk kamar meski ia sebenarnya merasa serba salah. Tidak tahu harus tetap menemani mereka atau masuk kamar. "A..." Ucap Nesa. Arlan menepis tangan Nesa yang hendak menggandengnya.
Hening, keduanya membisu. Nesa takut jika dia buka suara, Arlan semakin murka. Arlan pun belum mau membuka pembicaraan lagi.
Arlan mengerjap-ngerjapkan matanya. Kepalanya berat, ujung hidungnya sakit menusuk. Beberapa kali ia menekan pelipisnya, mengurangi rasa sakit.
"A Arlan kenapa?" Tanya Nesa saat melihat Arlan tampak menahan sakit. Arlan kembali menepis tangan Nesa yang hendak menyentuhnya. "A Arlan pasti migrain lagi. Bawa obat nggak?" Tanya Nesa panik, Arlan bergeming.
"Kenapa, Nes?" Tanya Ita sembari kembali keluar dari kamar saat mendengar Nesa tampak khawatir.
"Migrain A Arlan kambuh."
"Ya ampun, ajak istirahat di kamar." Titah Ita panik. Nesa mengangguk.
"Ayo, A." Nesa memapah Arlan menuju kamarnya.
Awalnya Arlan hendak menolak tapi kepalanya memang terasa berat dan sakitnya menusuk. Ia menyerah.
Setelah memastikan Arlan berbaring di atas tempat tidurnya. Nesa pun pamit ke apotek dekat perumahan tempat ia tinggal. Berharap bisa mendapatkan obat yang biasa Arlan minum jika tengah migrain. Beruntung ia pernah diminta membeli dan juga sempat membantu Arlan untuk minum obat sehingga ia hapal merk obat yang dikonsumsi Arlan.
"A, minum dulu yuk obatnya?"
"Nggak usah, mending kasih aku kapur barus aja sekalian biar aku mati sekarang juga."
"A Arlan...."
"Kenapa sih ngotot banget pergi dari aku? Ninggalin aku?"
"A....."
"Kenapa?" Ulang Arlan. Dan saking menahan emosi Arlan sampai bicara dengan gigi terkatup.
"Aku masih pengen kuliah."
"Emang selama kita deket kemarin aku larang kamu kuliah?"
"Aku nggak mau nikah sambil kuliah."
"Kan kita udah sepakat nikah selepas kamu wisuda."
"Orangtua kita khawatir kita nggak bisa jaga diri. Mereka...."
Arlan mengakui, ia memang sedikit kurang bisa mengendalikan diri jika tengah bersama Nesa. Rasa memiliki dan takut kehilangan yang membuat dirinya selalu ingin dekat Nesa.
"Tapi bisa kan kamu ngomong baik-baik ke aku, bukan ujug-ujug balikin cincin gitu."
"Maaf." Cicit nesa sembari menundukkan kepalanya.
"Terus mau kamu apa?"
"Terus kuliah." Lirih Nesa.
"Oke kalau orangtua kita dan kamu maunya seperi itu. Kita akan akad nikah secepatnya tapi kamu bisa kuliah."
"A, aku pengen kul...." Serta merta Nesa mengangkat kepalanya.
"Kita akad tapi kita tunda." Potong Arlan.
"Tunda apanya?"
"Aku cuma meresmikan hubungan kita secara agama. Bagus-bagus sekalian terdaftar juga di KUA. Tapi kamu nggak usah takut, semua berjalan seperti sekarang. Kamu boleh menunda soal itu sampai kamu siap atau wisuda."
"Hah?!"
"Kamu nggak mau kuliah sambil layani suami kan? Ya udah kita nikah, kita tunda, kamu bisa kuliah seperti biasa."
"A...."
"Aku ngantuk, boleh aku istirahat sekarang?" Arlan mengalihkan topik, menghindar.
"Hah?!" Nesa melongo.
Arlan langsung pura-pura memejamkan mata. Dengan begitu ia berharap selain Nesa bisa berpikir lebih tenang, gadis itu mau mempertimbangkan opsi yang ia ajukan. Terlebih ia memang butuh istirahat, kepalanya benar-benar terasa berat. Tidak mungkin untuk terus berdebat. Nesa masih diam di posisinya untuk beberapa saat.
Sebenarnya Nesa ingin sampaikan penolakannya. Tapi melihat Arlan terpejam ia hanya bisa menelan saliva. Nesa pun akhirnya memutuskan membiarkan Arlan beristirahat terlebih dahulu.
"Kalau nggak, aku bakal cari cara agar kamu yang ngotot minta nikah." Ujar Arlan pelan saat Nesa hendak beranjak keluar kamar.
Hah?? Apaan sih? Batin Nesa sembari menghentikan langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Sepupu
RomanceMenikahi Sepupu?! Beneran emang bisa? Gokil nggak sih?! Ceritanya ada di sini 🙂 Hanya untuk hiburan semata, don't baper please 🙏🏻 Happy Reading ❤️