MS - 20

1.4K 47 12
                                    

"Aku sayang kamu, Nes. Aku nggak tahu alasan kamu apa sampai tiba-tiba nikah gitu aja. Tapi kalau sebenarnya hati kamu nggak buat dia, kamu kepaksa, kamu emosi sesaat mutusin nikah sama dia. Tinggalin dia, Nes. Balik ke aku. Aku ada di sini, nunggu kamu. Terserah kamu mantan istri siapa pun. Aku nggak akan peduli, dan nggak perlu banyak orang yang tahu termasuk orangtua aku. Terlebih pernikahan kamu sepertinya tertutup. Please, coba kamu pikirin lagi. Ini jalan yang kamu pilih atau bukan. Terlebih kalian sepupu. Yang aku tau dari artikel yang pernah aku baca. Beresiko jika kalian punya anak. Bukan nakutin tapi kamu bisa baca-baca deh." Sultan tidak menyia-nyiakan sikap diam Nesa. Ia segera membuka kunci layar ponselnya menuju mesin pencari. "Ini...." Nesa menelan saliva.

Perkawinan sepupu memiliki aspek genetik yang dapat meningkatkan peluang gen anak memiliki sifat resesif. Risikonya bahkan empat kali lipat jika sepupu pertama menikahi sepupu kedua. Masalah terkait genetik ini dapat menyebabkan bayinya kelak mengalami cacat lahir yang meningkatkan risiko kematian dan kelainan bawaan.
(Sumber : www.halodoc.com)

"Tan, masuk."

"Iya." Sultan menoleh ke arah temannya yang memanggil. "Nes, aku sayang kamu. Sejak dulu, sejak ospek waktu itu." Bisik Sultan sembari pamit.

Nesa mematung, kalimat demi kalimat sultan membuatnya kehilangan kata. Tatapannya kosong. Terlebih sekilas ia membaca artikel yang diperlihatkan Sultan. Nesa hendak membuka di ponselnya saat sebuah tepukan di pundaknya yang membuat Nesa harus menoleh.

"Nes, gue cariin ternyata nyangkut di sini." Fio menghampiri. "Ke kelas yuk, bentar lagi masuk."

"Iya. Ayo."

"Lu kenapa, Nes?"

"Nggak."

"Jangan bohong."

"Iya yuk."

Saat melewati kelas Sultan tampak Sultan tengah mengisi lembaran soal. Di kampus mereka memang ada salah satu dosen yang hobi melaksanakan free test jelang UAS. Itu dilakukan agar mahasiswanya tertarik membaca buku lebih awal.

Kenapa baru tahu sekarang, batin Nesa.

***

"Anak Mama udah pulang?" Sambut Risma saat melihat Arlan turun dari mobil.

"Assalamu'alaikum." Arlan mengucapkan salam sembari menghampiri Risma yang tengah duduk di teras rumah.

"Waa'alaikumsalam." Balas Risma. "Mama seneng liat kamu beberapa hari belakangan ini cerah terus wajahnya."

"Ahh Mama."

"Serius."

"Alhamdulillah, semoga Arlan awet muda atuh ya. Biar Nesa tetep sayang sama Arlan."

"Aamiin...."

"Aku ke kamar dulu ya?!"

"Iya."

Risma tersenyum. Semenjak Nesa mau menikah dengan Arlan, Arlan memang tampak lebih fresh juga lebih fit. Risma jarang melihat Arlan mengeluh sakit kepala seperti biasa. Nesa..... Makasih, Nak. Batin Risma.

***

"Pak, Icha."

"Icha kenapa, Ma?"

"Icha makannya dikit-dikit dari kemarin. Diem di kamar terus."

"Ya Allah."

"Ini semua gara-gara si Nesa."

"Kok gara-gara Nesa?"

"Coba dia nggak kegenitan. Mungkin Arlan masih pilih Icha. Segitunya nggak mau kalah dari anak kita."

"Ya udah sekarang mau gimana lagi. Arlan sama Nesa nya juga udah nikah. Mending kita coba deketin Icha. Hibur Icha, doain Icha biar Icha kuat dan dapat pengganti Arlan secepatnya."

"Icha maunya Arlan."

"Ya tapi Arlan kan udah nikah. Masa jadi istri kedua?"

"Ya nggak apa-apa kalau arlannya mau, mampu dan bisa bersikap adil."

"Astaghfirullah, Ma." Ujang mengelus dada. "Jangan sembarangan ahh. Poligami nggak semudah itu. Bapak juga nggak mau Icha jadi istri muda. Berbagi suami." Tambah Ujang. "Nanti biar bapak ngomong sama Icha."

Nesa larut dalam kesibukannya belajar menghadapi ujian akhir semester yang hanya tinggal beberapa hari lagi. Ia pun sebisa mungkin menghindari Sultan untuk sementara waktu. Ia takut hatinya terkontaminasi.

Arlan selepas pulang mengajar langsung segera menuju Sukabumi. Ia sudah tidak sabar bertemu istri tercinta.

"Assalamu'alaikum."

"Waa'alaikumsalam."

"Kayak Arlan, Nes."

"Hah?!"

Nesa membuka pintu dan benar saja Arlan yang ada di balik pintu. Arlan tersenyum manis saat tahu Nesa yang membuka pintu untuk dirinya.

"Sayang...." Arlan meraih kepala Nesa dan mengecup kening Nesa hangat. Nesa kikuk. "Kenapa?"

"Nggak usah gitu deh kalau depan pintu, malu kalau sampai ada yang liat." Protes Nesa. Arlan tersenyum lebar.

"Arlan?!"

"Bu..." Arlan menyalami Ita santun.

"Udah makan?"

"Belum."

"Kebetulan, ayo kita makan malam bareng."

"Iya, Bu. Kalau gitu Arlan ganti baju dulu."

Mereka lalu makan malam bersama, sesekali Arlan mencuri pandang Nesa. Tidak sabar menanti sesuatu yang kemarin sempat tertunda.

Nes, nggak boleh mikir yang aneh-aneh. A Arlan sekarang suami kamu, kamu udah ambil keputusan. Keputusan buat nemenin A Arlan. Bantu A Arlan buat lebih sehat. Alasan aku jelas, nggak pengen A Arlan kenapa-napa. Soal lainnya.... Serahin aja sama Allah. Nesa memantapkan dirinya sendiri.

"Biar sama Nesa aja." Ujar Nesa saat Ita hendak merapikan piring kotor.

"Ya udah kalau gitu ibu ke kamar duluan ya?!"

"Iya."

"Nes..." Lirih Arlan yang mengikuti Nesa ke dapur.

"Kenapa, A? Mau dibuatin sesuatu?"

"Nggak cuma mau minta ditemenin."

"Ditemenin apa?"

"Ditemenin....." Arlan menggantung kalimatnya sembari memeluk Nesa dari belakang.

"A Arlan." Protes Nesa. "Nanti ibu liat."

"Nggak apa-apa. Kan udah sah, udah boleh, ibu juga bakal maklum, kan kita nggak ketemu beberapa hari."

"Yeee...."

"Masih lama?"

"Segini lagi."

"Aku bantuin ya biar cepet."

"Nggak usah."

"Udah sini. Kamu sabunin, aku bilas."

Nesa menatap tangan Arlan yang tengah kerja membantu dirinya. Tangan suaminya. Aku cinta dia? Atau hanya.....

"Selesai.... Yuk?!" Tarik Arlan tidak sabar.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Menikahi SepupuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang