MS - 9

1.1K 52 8
                                    

Nesa pun menyelinap masuk ke kamar Risma dengan perasaan campur aduk. Tapi yang pasti, jantungnya berdebar kencang.

"Lho, Nes?!" Risma dan Ita terkejut saat Nesa tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

"Maaf... Maaf." Ucap Nesa. "Bu, Tan... A Arlan udah ngomong ke Mang Ujang." Adu Nesa.

"Hah?!" Risma membulatkan mata.

"Nesa izin diem di sini ya, Nesa takut." Cicit Nesa.

Sungguh saat ini ia memang merasa ketakutan. Takut dirinya diserang karena dianggap jadi penghalang atau penyebab tidak berlangsungnya perjodohan antara Arlan dan Icha.

Risma mengangguk sembari beranjak keluar kamar. Saat melihat Risma berjalan menuju ruang makan, Ujang dan Elis segera pamit. Hati mereka terluka, itu sudah jelas. Harapannya mempunyai menantu dari Jakarta dengan pekerjaan yang baik pupus saat Arlan menjelaskan jika yang terjadi berawal dari salah duga, salah paham semata.

Icha patah hati. Ia meninggalkan rumah Risma dengan dada yang menyesak. Langkahnya terasa berat pergi dari rumah itu, membiarkan apa yang hampir jadi miliknya lepas begitu saja.

"Bu....?!" Lirih Nesa pada ibunya yang semenjak tadi menemani dirinya di kamar Risma.

"Mereka pulang." Ujar Ita yang memang sempat melihat melalui jendela kamar.

"Kita pulang juga yuk?! Nesa pusing."

"Iya." Angguk Ita.

Arlan tengah menenangkan diri selepas keluarga adik papanya pergi. Ia tahu keluarga itu kecewa, tapi ia juga tidak ingin memberi harapan palsu.

"Nes?" Arlan segera bangkit saat melihat Nesa melewatinya dengan membawa tas. "Mau ke mana?"

"Kita pulang dulu ya, A." Pamit Ita, karena Nesa diam tanpa suara.

"Tan?" Arlan seolah ingin memastikan pada Ita apa yang ia dengar barusan tidak salah.

"Besok Nesa harus kuliah pagi-pagi." Terang Ita.

"Nes...." Arlan perlahan menggenggam tangan Nesa erat. "Aku anterin ya?!"

"Nggak usah, A. Kita dianterin sopir kok." Tolak Nesa yang akhirnya bersuara.

"Ta, Mang ud....." Risma yang baru kembali dari garasi itu tertegun.

"Biar Arlan yang anterin." Potong Arlan sembari menoleh Risma.

Arlan tidak bodoh, ia tahu betul Risma akan memberi tahu Ita dan juga Nesa jika sopir mereka sudah siap mengantar Ita juga Nesa ke Sukabumi.

"Kita sama sopir aja. A Arlan kan baru mendingan. Istirahat, biar besok bisa ngajar." Ujar Nesa.

"Nes." Genggaman itu semakin erat. Arlan pun maju selangkah lebih dekat. Kini jarak tubuh yang berhadapan itu semakin rapat.

"A..." Risma mencoba menenangkan putranya. Arlan tidak menggubris. "Ta, kita masuk dulu. Mereka butuh bicara berdua sepertinya."

"Iya, Teh." Angguk Iya, setuju.

"Nes... Duduk dulu ya?!" Ajak Arlan.

Nesa bergeming. Melihat Nesa tanpa respon Arlan segera menuntun gadis itu untuk duduk. Walau enggan, akhirnya Nesa patuh.

Setelah duduk, mereka diam membisu. Hanya tatap Arlan saja yang seolah mengutarakan apa yang Arlan rasa. Tangannya masih menggenggam tangan Nesa erat.

"Kamu boleh pulang tapi bukan untuk ninggalin atau hindarin aku." Ujar Arlan setelah menarik nafas panjang.

"A...."

"Please.... Don't leave me." Ujar Arlan sungguh-sungguh. Arlan yang semula duduk di samping Nesa sambil terus genggam tangan Nesa, akhirnya bersimpuh di depan gadis itu.

"A?! A Arlan jangan gini." Nesa tidak enak hati. Ia pun segera meminta Arlan bangkit dari posisinya kini.

"Sekali lagi aku tanya, will you marry me?" Tanya Arlan.

Sekali lagi, jadi Arlan pernah nanya itu sama Nesa sebelumnya?? Batin Risma yang ikut mendengarnya. Karena posisi ia dan Ita tidak terlalu jauh dengan posisi Arlan juga Nesa.

"Ta, kalau misal mereka ada jodoh. Kamu keberatan nggak?" Lirih Risma. Ita hanya bisa menelan saliva.

***

"Udah, Cha. Kita mah apa atuh? Mama udah curiga, soalnya liat kedekatan mereka mah beda." Cerocos Elis saat melirik ke jok belakang, Icha tampak menatap kosong ke arah jendela samping.

"Apa A Arlan lebih milih Nesa karena Nesa mah kuliah. A Arlan kan dosen, ya pasti milih yang lebih pendidikannya."

"Bisa jadi." Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Ujang yang tidak tega melihat putrinya kecewa.

"Kalau gitu kamu juga kuliah. Biar nggak kalah sama Nesa. Bila perlu kuliah di tempat Nesa kuliah. Buktiin kamu juga bisa kayak Nesa, siapa tahu dengan begitu Arlan berpikir dua kali." Ujar Elis menggebu.

Menikahi SepupuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang