Hari ke 15.

954 158 23
                                    

Tisha tidak sengaja terdorong oleh beberapa orang karena keadaan halte yang cukup penuh, dimana halte ini tempat transitnya sebelum naik bus selanjutnya yang akan menuju kampusnya nanti. Genggamannya pada tangan kiri Teresa mengerat, mereka hanya dua gadis bertubuh mungil yang berada diantara desakan banyak orang. Sialnya hari ini adalah hari pertama mereka ujian, "Kita yakin mau nunggu?" tanya Tisha pada Teresa setelah agak menjauh dari kerumunan.

Sekarang pukul tujuh lebih lima belas menit, mereka tidak bisa sampai ke tempat tujuan jika jalanan di depan sedang diperbaiki ditambah katanya ada seseorang yang kecelakaan beruntun. "Gue lagi nyari ojek online, masalahnya jalan kesini juga lama." Tisha hanya diam, tangannya sudah berkeringat takut jika telat ujian dan nilai mereka akan kosong.

Tisha memegang ponselnya, menunggu pacarnya membalas pesan. Satu-satunya harapan adalah Jeffian. "Duh, gue chat Ejej belum dibales terus telpon juga nggak diangkat. Curiga masih tidur huhu, gimana ya kita?" Tisha nyaris menangis saat itu juga, tapi disana Teresa menenangkan gadis itu. Menepuk-nepuk punggungnya perlahan, ia sudah pasrah dengan semuanya.

Disisi lain Jeffian baru saja memarkirkan vespa matic putih milik Tisha yang ia bawa ke kampus, rencananya nanti saat selesai kelas ia mengantarkan vespa gadisnya pulang. Ponsel di dalam jaket denimnya bergetar, Tisha dengan dua puluh panggilan dan nyari lima puluh pesan. Ada apa?

"Halo? Kenapa, yang?" Jeffian masih santai menerima panggilan dari pacarnya setelah melepas helm nya. Disampingnya ada Jack dan Aaron yang baru saja datang, menatap Jeffian yang sedang mengangkat telponnya.

"Aku... aku kejebak di halte simpang tiga, macet parah. Aku... aku ada ujian, aku takut nggak keburu, aku takut telat. Kamu bisa kesini nggak? Kamu dimana? Tolong aku, yang. Aku mau nangis." ujar Tisha di sebrang telpon, ia sangat panik hingga tangannya gemetar dan hanya digenggam oleh Teresa yang keadaannya tidak lebih baik.

"Dengerin aku, dek. Adek? Okay. Jangan panik, jangan nangis. Aku kesitu jemput kamu, kamu keluar dulu dari halte ya? Cari warung atau minimarket terus minum dulu, aku kesana ━

Jeffian berhenti berucap, ia menatap Jack dan Aaron yang saling berpandangan. "━ lima belas menit, aku disana. Jangan nangis, okay? Kamu sendiri?"

"Aku sama Teresa aja, kamu hati-hati ya?"

"Okay, aku jalan sekarang."

Setelah mematikan ponselnya, Jeffian memasukkan kembali ponselnya kedalam saku jaket denimnya. Langsung memundurkan vespa putih milik Tisha dan menggunakan kembali helmnya, "Lo mau kemana?" tanya Jack yang melihat Jeffian berusaha memundurkan vespa tersebut.

Lelaki itu membuka kaca helmnya, "Tisha kejebak macet disimpang tiga, lo mending ikut gue Jack." ujarnya terburu, Jack menghetikan usahanya membuka kaitan helm. Kenapa ia harus? Bukankah yang akan ia jemput hanya Tisha? Lagipula jalanan disana sangat macet.

Jeffian menghela nafas lelah, susah sekali mengajak temannya. "Bawa Teresa." lanjut Jeffian lagi, Jack langsung memundurkan lagi motornya. Sebagai mantan teman kencannya, mungkin ia harus menolong si cerewet itu.

"Gas."

Aaron hanya menatap kedua temannya yang sudah bersiap menyalakan motor, "Terus gue gimana? Gue ikut boleh nggak?" tanyanya sembari menunjuk dirinya sendiri yang berdiri tepat disamping motornya. Apa karena ia tidak memiliki pacar? Atau teman kencan mungkin? Hei, Apa bisa begitu?

"Nggak/Kagak." jawab keduanya sembari menggelengkan kepala, Aaron hanya memasang wajah sebal. Pertemanan macam apa ini? Ia sungguh sangat kecewa.

Jack yang membenarkan sarung tangannya pun berkata, "Lo kan ketua kelas hari ini, nggak bisa ikut. Gue sama Ejej tipsenin aja." lalu lelaki itu menutup visor helmnya. Aaron mendesah kecewa, harapannya ingin bolos hilang seketika. Apa besok ia harus mencari pacar?

liéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang