Hari ke 22.

1.1K 115 8
                                    

"Aku udah di parkiran, kesini aja."

"Kamu parkir dimana?"

"Tempat biasa."

Sambungan telpon terputus, Tisha langsung terburu merapihkan barangnya dimeja dan keluar kelas. Ia hari ini rencananya akan mencari kedai ramen bersama Jeffian, karena mereka sama-sama menyelesaikan kelas pukul tiga sore. Cocok sekali untuk melihat senja dan makan ramen bersama.

Gadis itu berjalan cepat menuju parkiran biasa, dekat dengan gedung fakultas Jeffian tapi saat melihat ada gerbang keluar lain ia berjalan mundur. Apa ini gedung baru? Tisha baru melihatnya, sangat sepi tapi terlihat mesin karcis disana juga beberapa mobil berdebu. Dengan hati yang berat karena penasaran Tisha berjalan masuk, sebelumnya ia tidak pernah kesini.

Langkah kakinya perlahan membawanya ke dalam gedung parkiran dengan kurang lebih delapan lantai, lumayan besar. Ada garis polisi di tanjakan sebelah kiri, sekarang ini mulai terasa seram. Tisha berdiam diri, ia ingin berbalik tapi beberapa lelaki sedang merokok dibelakangnya. 

Jantung Tisha berdegup kencang ia berjalan cepat, menjauh dari sana. Ia sangat takut, "Kok buru-buru?" tanya seseorang yang sama sekali tidak Tisha kenal. Mereka ada tiga orang langsung berjalan menuju Tisha.

Gadis itu terdiam membeku, tidak tahu harus melakukan apa. Ia hanya menunduk takut, "Jurusan mana? Kedokteran ya? Rapih banget." ujar salah satunya sambil berjalan ke arah depan Tisha dan mencoba melihat wajahnya.

Dari jauh seseorang melihat Tisha yang dikerubungi beberapa lelaki, langkah kakinya membawanya pergi beberapa langkah tapi dikepalanya ia tidak tega. Sedikit berdecak ia berjalan masuk kedalam gedung parkiran kosong tersebut.

"Kalau ditanya tuh, jawab dong cantik." Tisha menggeleng pelan, kakinya lemas. Ia ingin menangis saat ini juga.

Tubuh gadis itu menegang ketika ada seseorang yang merangkulnya dari kiri, "Ini siapa, dek?" Tisha menggeleng, cukup dengan ini semua ia hanya ingin pulang.

"Adek gue maba, dia kesasar harusnya lo pada nggak ganggu dia sih." Tisha sedikit menoleh, suaranya ia ingat. Teman Hunter waktu itu! Bahkan parfumnya pun masih sama, ternyata Tuhan masih sayang Tisha.

Ketiga lelaki disana saling sikut, "Maaf, bang. Kita nggak tau, tadi mau nanya kemana eh nggak mau jawab." yang paling ujung beralasan. Padahal nyatanya nggak begitu.

"Gitu, dek?" Tisha menggeleng ribut.

Jayden melirik Tisha yang menggeleng. "Nggak tuh, semester berapa?" tanya nya.

"Dua, bang."

.

Teresa berjalan santai dengan empat botol air mineral di plastik putih, rencananya ia akan memberikan ini pada Jack, Jeffian, dan Tisha karena hari ini panas sekali. "Tisha mana?" tanya Jeffian tiba-tiba ketika Teresa datang diantara mereka, ia hanya mengendikkan bahunya.

"Lho belum datang? Bukannya dia jalan duluan? Gue beli minum dulu ini di kantin tengah." Kata Teresa menjelaskan lalu Jack mengambil satu botol, untuk diminum.

"Lo satu kelas kan? Gedung lima depan laber? Masa nggak sama Tisha?" Jeffian memastikan.

"Iya kok, gue emang nggak lewat jalan depan sini. Dibilang gue muter karna ke kantin tadi."

Jack menutup kembali botol air mineral, "Lo bilang emang di parkiran sini?" ucapnya santai. Jeffian langsung mengecek ponselnya, ia mengirimkan pesan pada Tisha tadi. Benar, Jeffian memberitahu parkiran ini bukan yang...

"Anjing!" ujarnya lalu berlari seperti orang kesetanan menuju parkiran gedung kosong, Tisha pasti ada disana. Meninggalkan Jack dan Teresa yang saling memandang terheran, tidak biasanya Jeffian sepanik itu.

Lelaki itu menghentikan langkahnya tepat empat meter di belakang Tisha yang masih dirangkul oleh Jayden. "Lain kali jangan coba masuk kesini ya? Gue cabut dulu, takut ada yang ngamuk." ujar Jayden santai, tersenyum lalu melepaskan rangkulannya pada pundak Tisha dan menepuknya beberapa kali sebelum berlari menjauh karena ia memiliki urusannya sendiri.

Jayden sedikit menoleh dan sudah mengetahui Jeffian akan datang, tersisa Jeffian yang berdiri dengan emosi penuh. Tisha berbalik, berlari kearah kekasihnya dengan tatapan berkaca-kaca pasca dirinya yang menjadi korban cat-calling. "Je, aku─

"Pulang." kata Jeffian mutlak. Sedikit pun tidak memberikan ruang pada Tisha untuk menjelaskan apa yang terjadi. Gadis itu benar-benar menahan tangisnya sembari meremat kemejanya sendiri ia berjalan membututi pacarnya.

Tidak ada obrolan yang terjadi bahkan selama perjalanan pulang, tidak pula ada ucapan selamat tinggal ketika Jeffian pergi setelah mengantar Tisha hingga depan gerbang rumahnya. Jelas, lelaki itu nampak cemburu. Dilain sisi Tisha tidak tahu lagi harus bagaimana, untuk mencoba membujuk Jefiian pun tidak terpikirkan. Dirinya masih terlalu syok setelah kejadian di parkiran kosong tadi. Bahkan ia nyaris tidak bisa berpikir jernih dan hanya ingin menangis.



















an.

siapa sangka?


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

liéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang