Hari ke 21.

956 152 4
                                    

"Boleh nggak ya kalau mam di dalem klinik?" tanya Tisha sambil membuka plastik yang membungkus telur gulung miliknya, ia baru saja membeli beberapa jajanan yang di goreng. Walaupun sakit ia tetap harus mengunyah!

Jeffian yang penasaran pun mengintip bungkusan yang dibawa Tisha, ternyata masih hangat. "Boleh, nanti kalau kamu diusir aku temenin." jawab Jeffian santai lalu merapihkan rambutnya. Mereka baru saja pulang kuliah, Tisha menitipkan tasnya di kostan sang pacar dan mereka berdua kemari untuk  mengecek mata si cantik karena sudah dua hari mengeluh pegal serta berair.

"Ah so sweet banget pacarku." ucap Tisha, sebelah kiri tangannya memeluk Jeffian dengan senang. Biar saja pacarnya yang menekan tombol kartu antrian, ia hanya terima beres.

Mereka duduk di barisan terakhir setelah Jeffian yang mengantri untuk pendaftaran, Tisha tidak bisa melakukannya karena payah berkomunikasi di tempat umum karena susah paham apa yang mereka bicarakan. Akhirnya Jeffian yang melakukan itu walau ditatap sinis oleh pihak administrasi, maklum pasangan muda.

"Mana mana mau lihat!" pekik Tisha merentangkan tangan sesaat setelah Jeffian mengambil formulir data baru karena gadisnya baru pertama kali berobat di klinik ini.

Tidak, Tisha tidak mengisi formulir jelas Jeffian yang mengisinya. Tisha hanya memantau sambil memakan telur gulungnya walaupun sesekali menyuapi Jeffian, "Kok kamu berani, yang? Ngobrol sama mbak mbak itu." komentar Tisha.

"Lagian kamu kenapa takut?"

"Ih aku kan suka hah hoh hah hoh kalau disuruh ini itu, aku biasa sama ayah jadi paham harus apa." Jeffian hanya menghela nafas mendengar tutur kata sang pacar yang terlihat tanpa dosa, padahal Tisha hanya butuh ke meja administrasi setelahnya ia memberikan kartu jaminan kesehatan lalu mengisi formulir pendaftaran baru. Tapi tidak apa-apa, Jeffian akan melakukan apapun untuk Tisha.

"Padahal cuma kedepan, kasih kartumu, isi formulir terus kasih lagi ke mbak nya."

"Ah nggak ngerti, pusing."

Ah, lupakan saja.

Jeffian sudah selesai mengisi formulir, giliran Tisha yang berada di meja pemeriksaan pertama. Tidak, gadis itu tidak sendiri tentu ada sang pacar disampingnya walaupun hanya mengukur tekanan darah. Gadis itu memiliki tekanan darah normal dan berat badan yang turun satu kilo, membuat Tisha cemberut di lorong tunggu.

"Makanya makan yang banyak, makan yang bergizi.  Kamu makan juga full micin, dagingnya digerogotin micin." komentar Jeffian sambil menggigit gorengan yang Tisha beli, sangat tidak membantu. Gadisnya hanya mencebil sesekali melirik Jeffian kesal, ia ingin menaikkan berat badan dan itu cukup sulit karena entah makanan dalam lambungnya hilang begitu saja.

"Bohong, micin kan nggak makananin daging."

"Ya tuh kamu buktinya nggak gede-gede."

"Ah kamu mah, yang."

Bibir Tisha mencebil, "Atas nama nyonya Tisha?" seorang perawat membuka pintu ruangan utama dan mempersilahkan Tisha untuk masuk ke dalam ruangan lantas Jeffian memasukkan kembali gorengan yang sisa separuh ia gigit dengan jaket yang ditarik pacarnya. Tisha tidak berani masuk ruang periksa sendiri.

Mereka memasuki ruangan lalu sang dokter cantik mengecek kesehatan Tisha pada sebuah lembaran yang didapat dari meja pemeriksaan tadi, semuanya normal. Genggaman tangan kiri Tisha seperti tidak ingin lepas meremat jaket Jeffian. "Jadi, ada keluhan apa?" tanya dokter cantik dengan kemeja merah tua, Jeffian melirik Tisha dan dari ujung mata gadisnya itu meminta agar diwakilan saja semua keluhannya selama ini.

"Jadi, pacar saya ─

Perkataan Jeffian terhenti ketika lirikan tajam dokter cantik itu menatapnya, hei apa salahnya? Jeffian tidak melakukan apapun pada Tisha, perawat yang sedang memegang catatan keluhan Tisha pun ikut menatap lelaki tampan berjaket hitam itu. Apa ini? Apa ia dikira menghamili Tisha?

─ pacar saya sakit mata, dok. Udah  dari seminggu lalu katanya ngeluh pegel di daerah belakang mata dan dua hari lalu berair, dibalik kantung matanya ada jerawatnya ternyata." jelas Jeffian, dokter cantik itu lalu tersenyum dan mengambil senter kecil untuk mengecek mata Tisha. Jeffian tidak melakukan hal yang aneh, tenang saja.

"Coba saya lihat dulu."

.

Setelah pemeriksaan tadi, Tisha duduk disamping Jeffian di tempat pengambilan obat. "Aku dikira lagi hamil sama dokternya." tidak sadar jika ada wanita paruh baya duduk disampingnya dan memasang ekspresi kagetnya yang mengira mereka adalah pasangan muda.

"Kamu bukannya ngomong, yang." tukas Jeffian sambil masih asik menggigit gorengan yang entah ke berapa. Tisha bersandar di bahu Jeffian sambil mencebil, lagipula Tisha tidak biasa mengatakan apa keluhannya dihadapan dokter. Biasanya yang mewakilkannya adalah ayah atau ibunya.

"Dokternya antagonis kaya ibu tiri, aku takut."











































a.n

ehehehe (/▽\)


liéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang