Hari ke 20.

880 153 8
                                    

"It's time to feeding Tisha! Ayo mau mam apa kita?" Tisha turun dari motor Jeffian dan langsung mengamati satu persatu tenda yang ada di depan sana, banyak sekali jajanan disini. Tisha sepertinya sudah memutuskan untuk makan apa malam ini, sebelum Jeffian mengembalikan gadis itu kerumahnya.

"Pecel yeye apa? Sop yeye." Jeffian menarik baju Tisha sedikit agar si cantiknya tidak hilang di makan lautan manusia di tempat ramai seperti ini. Tisha tidak terlalu suka lele tapi Jeffian suka, itu kenapa ia akan merasa aman untuk dijadikan santapan malam. Jika makanan pedas Jeffian pasti mengomelinya.

"Yek, yeye nya kalau di sop hidup lagi."

"Oh iya?!"

Akhirnya Jeffian menarik Tisha ke dalam tenda yang menjual aneka ragam menu masakan bebek, "Emang boleh ya peri mam bebek?" tanya Tisha asal. Gadis itu baru saja membeli seperangkat mainan peri seperti bando, sayap yang berada di punggungnya, dan juga tongkat sihir kecil berwarna merah muda. Jeffian bilang semua yang digunakan Tisha itu lucu jadi ia langsung memakainya.

"Sebelum peri dimakan bebek, hayo? Kamu mau makan apa, yang?" Setelah duduk di tempat kosong, Tisha langsung berpikir keras. Ia belum pernah makan bebek sebelumnya, matanya menelisik menu yang di pesan pengunjung lain.

Jemarinya menunjuk kecil pengunjung disampingnya, "Oh, yaudah tungguin. Jangan terbang ya, yang?" Tisha tertawa mendengarnya lalu menaikkan kedua jempolnya sebelun Jeffian berlalu untuk memesan makanan.

Tisha membuka ponselnya untuk melihat jam, namun seseorang mencolek lengannya pelan. "Kak, aku jual tisu sisa dua. Kakak mau beli?" Tisha menoleh ke sebelah kanan dan melihat seorang gadis kecil penjual tisu eceran. Bajunya bersih tidak lusuh hanya rambutnya saja yang terlihat lengket, Tisha tersenyum lalu menepuk kursi plastik disampingnya.

"Sini duduk dulu." ajak Tisha, matanya beradu pandang dengan Jeffian yang menoleh di depan sana. Seperti mengerti dengan kode yang diberikan pacarnya, Jeffian langsung mengangguk. Tambahan satu porsi untuk gadis kecil itu tidak buruk, pikirnya.

Adik itu nampak segan, ia menatap Tisha lagi. "Boleh?" tanyanya ragu, Tisha mengangguk semangat dan membantu gadis kecil itu duduk dan menaruh sisa jualan tisunya.

"Kakak mau beli tisunya, tapi mau nanya dulu boleh nggak?"

"Boleh!" seru adik itu, ia nyaris tidak memiliki teman dan mengobrol dengan orang asing pun jarang. Tisha nampak seperti peri nyata dalam benaknya, ia bahkan tidak berhenti menatap sayap yang dipakai Tisha.

"Nama adek siapa?"

"Aku Nina." jawabnya pelan, jemarinya menyentuh tongkat peri milik Tisha. Nina tidak pernah memiliki mainan seperti ini.

Tisha mengangguk sambil mengambil tisu basah dan juga sisir dari dalam tasnya, "Lucu namanya, kamu kelas berapa?" Tisha bertanya sambil mengusap wajah gadis kecil dihadapannya. Entah sudah berapa jam ia berada di pinggir jalan hingga wajahnya penuh debu, tanpa risih Nina menjawab pertanyaan Tisha.

"Aku kelas tiga sd, kalau kakak namanya siapa?"

"Aku Tisha, kok kamu masih jualan? Ini kan udah malem."

"Aku bantu ibu, kak. Hari ini ibu sakit jadi nggak bisa jualan─

Ucapan Nina berhenti ketika Jeffian datang dan duduk disamping Tisha, jujur saja Nina agak merasa takut tapi Tisha begitu baik masih mencoba mengikat rambutnya. "Jualan apa ibunya?" lanjut Tisha, Nina mengalihkan pandanganya dari Jeffian menuju tongkat peri milik Tisha.

"Jualan kue kue sama temennya." Tisha mengangguk mengerti.

Makanan datang dan Jeffian menaruh bagian Tisha dan juga milik Nina yang enggan menatap sepiring bebek goreng, ia lebih memilih untuk memegang tongkat peri disana. "Tapi, ayah ada?" Nina menjawab Jeffian dengan gelengan pelan.

"Asik." ucap Jeffian pelan dan masih bisa Tisha dengar, gadis itu memukul paha pacarnya kencang. Bisa-bisa nya lelaki itu tersenyum mencurigakan seperti itu.

Tisha meraih mangkuk berisi air dan mencuci tangan Nina, anak ini bukan korban eksploitasi. Nina hanya ingin membantu ibunya dan membelikan obat, setulus itu. "Ayo Nina makan dulu yuk, udah dibawain bebek sama bang Eje." Jeffian menaik turunkan alisnya tanda sombong karena Tisha menyebut namanya.

Nina menggeleng, ia menjauh dan hendak turun. Merasa tidak diajarkan untuk meminta ataupun makan bersama orang asing, "Engga usah, kak. Aku mau beli obat buat ibu terus pulang, aku nggak punya uang buat bayar ini." senyum Jeffian berubah mendengarnya.

"Ini abang yang beli buat Nina, kalau makan ini nanti jadi peri deh!" mata gadis kecil itu berbinar, bukan karena makanan tapi seperangkat aksesoris di tubuh Tisha.

"Wah?!"

Tisha bersemangat, ia melepaskan sayap serta mahkota palsunya dan dipakaikannya kepada Nina. Gadis kecil ini harus mendapatkan penghargaan untuk kerja kerasnya, "Jadi peri! Ayo makan dulu, peri butuh tenaga buat terbang!" Nina tersenyum hingga gigi kecilnya terlihat.

"Makasih ya, bang Eje sama kak Tisha hihi." Nina tertawa senang sebelum menyantap makan malamnya.

Setelah mereka menghabiskan makanannya, Tisha mengantar Nina ke apotek terdekat sebelum mengantarnya pulang ke rumah. Tidak lupa membungkus makanan untuk ibu Nina, rumah Nina tidak jauh hanya sekitaran daerah itu bahkan Jeffian memberikan selembar uang lima puluhan untuk membayar tisu yang Tisha beli. Mereka pulang dalam keadaan senang, ya... senang membantu gadis kecil yang baik dan sopan.

























































an.
apa c enih kok gada konfliknya

liéTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang