"Gue pagi nelpon lo, kok nggak dijawab? Nggak ada kuota bukan?" tanya Daniel begitu duduk tepat disamping Jeffian, sedangkan yang diajak bicara hanya diam. Ia tadinya ingin mengunjungi kediaman Jeffian untuk mengambil motornya. Tetapi saat ia hubungi temannya pagi tadi, tidak ada jawaban sama sekali. Jadi, ia urungkan niatnya untuk mengambil motor.
Hunter yang duduk disamping Jeffian hanya menaruh telunjuknya didepan hidung mancungnya itu, mengintrupsikan agar Daniel tidak banyak bicara. Lelaki berkacamata itu langsung paham dan menutup mulutnya, "Kata gue mending lo bilang baik-baik sama Tisha." tutur Jack setelah menyalakan rokok yang diapit bibirnya.
Daniel yang tidak tahu apa-apa hanya menggerakkan bibirnya tanpa suara dan bertanya pada Hunter dari balik punggung Jeffian, "Bilang gimana? Orang gue nggak tau posisinya dimana, hape gue aja sama Tisha dari semalem." Jeffian mengacak rambutnya, bertingkah seperti orang stress karena tidak dikabari Tisha selama enam belas jam lamanya.
Mendengar itu, Daniel menoleh kearah Hunter lagi. "Oh ribut?" katanya tanpa suara dan Hunter hanya mengangguk sembari memejamkan matanya. Aaron disana hanya memperhatikan keempat temannya dan menyedot es kopi dengan senang hati, ia tidak ingin ikut campur karena Jeffian dan urusannya saat ini sangat berlebihan.
"Lo kan bisa ke gedung fakultasnya."
"Nah tuh." timpal Hunter setelah Jack memberi ide, ini agar mempermudah Jeffian untuk kembali memiliki mood yang bagus dan bisa membantu dirinya nanti saat ujian.
Beberapa detik kemudian Jeffian langsung bangkit dari duduknya dan pergi begitu saja, namun baru sampai pintu depan kantin ia kembali lagi ke meja tersebut. Kunci motornya tertinggal, ia tidak mau berjalan ke arah fakultas Tisha karena hari ini sepertinya matahari lebih dekat satu meter dari bumi. "Ejej kenapa sih? Kok nggak ada yang ngasih tau gue?" tanya Daniel penasaran, ia baru datang dan tidak tahu apa-apa.
"Tisha ngambek, soal taruhan itu." jawab Jack sekenanya, menghembuskan asap rokoknya keatas. Hal sepele tapi Jeffian dan otak pintarnya itu tidak bisa berpikir, membuatnya sedikit kerepotan memikirkannya.
Aaron menegakkan tubuhnya dan menjentikkan jemarinya, mengambil atensi Daniel disna. "Lo tau? Tisha ngambek bukan karna dijadiin bahan taruhan, tapi ngambek kenapa si Ejej nggak ngasih tau dari awal. Katanya kalau Ejej menang taruhan, uangnya bisa dia beliin tab. Mind blowing anjir!" katanya heboh.
"Anjir?"
.
.
.
Setelah menemukan Tisha di depan lab praktikum dan menunggu gadis itu selesai dengan bahan kimia nya, Jeffian mengajak si cantiknya itu ke rumah makan cepat saji dekat dengan kampusnya. "Ini es krim, maaf ya yang semalem." ujar Jeffian lembut seraya memberikan satu cup es krim kehadapan Tisha yang masih menekuk wajahnya, ia mendudukan dirinya disamping Tisha. Dihadapannya ada banyak kertas hasil praktikum gadisnya yang sepertinya belum selesai, mungkin beberapa jam lagi Jeffian akan kembali lagi ke kelasnya jadi Tisha mengerjakan laporannya disini sembari menunggu pacarnya.
Tisha hanya menatap satu cup es krim pisang dengan sirup coklat dan taburan oreo itu dengan tidak minat, apa Jeffian pikir ia gadis yang mudah dibujuk dengan es krim? Tidak, Tisha tidak semudah itu. "Ya." jawabnya ketus sebari mengeluarkan ponsel sang pacar dari dalam kantung celana bahannya. Sengaja ia bawa semalam karena rasanya kesal sekali, maka Tisha menyiksa Jeffian dengan tidak mengabarinya selama enam belas jam.
"Ini es krimnya." Jeffian disana masih berusaha meberikan es krim tersebut pada gadis cantik berkemeja merah muda itu, namun Tisha sepertinya tidak tertarik. Bahkan ia tidak melirik satu cup es krim itu, sibuk sendiri dengan kertas-kertasnya itu.