Jeffian menunggu Tisha di depan gedung kelas si gadis, hanya berdiri dan ia merasa sangat tidak percaya diri. Lihat bagaimana orang-orang berlalu lalang dengan kemeja rapih dan tumpukan buku yang dipeluk, berbeda dengan dirinya yang memakai kemeja tidak terkancing juga kaus hitam dan celana jeans sobek. Nampak seperti kesenjangan sosial yang nyata, netranya menangkap Tisha yang berjalan cepat keluar dari gedung dengan wajah yang menahan marah.
Dengan sigap Jeffian membawa totebag sang pacar, menyampirkannya di bahu kanan. "Kenapa?" tanya Jeffian pelan, Tisha meliriknya lalu menghembuskan nafasnya kesal. Terlihat dari mata bulatnya itu jika ia ingin mengamuk saat ini juga.
"Gila, orang gila. Kayak... aku tau dia itu disukain dosen, terkenal, dan pinter. Emang nggak bisa ya nahan buat nggak ngomong kalau kelas ku ini nggak berguna pas jam matkul di depan dosen, cuma karena nggak ada yang ngajuin jadi ketua kelas di matkul lain?" sungut Tisha kesal sendiri, belum mau berjalan karena ia butuh menyalurkan kekesalannya saat ini juga!
"Bayangin ya, dia curhat sejam sendiri sampe kita pulangnya ngaret kayak gini!" Jeffian refleks menutup matanya ketika Tisha berteriak kesal, mereka nyaris dikira sedang ribut oleh orang-orang yang lewat.
"Iya-iya. Pelan aja ceritanya, yang."
"Nggak! Nggak bisa! Pokoknya aku hiiihhhh kesel banget! Lagian dari awal pembagian matkul itu dia sendiri yang menawarkan diri buat handle semua kelas, aku udah coba bilang mau bantu tapi katanya nggak usah. Kok sekarang dia yang bilang kita sekelas nggak gun ─
"Sshh diem dulu." Jeffian mendesis ketika melihat sedikir bercak darah dari belakang celana bahan Tisha yang berwarna krem, gadisnya menggerutu sambil berjalan ke arah depan Jeffian.
Tisha berhenti berjalan, tidak menoleh juga kebelakang. Jeffian melepaskan kemeja yang ia pakai, melingkarkannya pada pinggang Tisha. "Udah ayo, cerita lagi." ujar Jeffian seperti tidak ada apa-apa, bahkan lelaki itu menggandeng tangan Tisha untuk kembali berjalan tetapi gadisnya berhenti dan mata nya membulat nyaris menangis.
"Aku... bocor ya?" suara Tisha bergetar, nyaris menangis. Oh, bahkan sudah berkaca-kaca. Jeffian hanya tersenyum kecil lalu mencubit pipi Tisha yang memerah karena malu, pasti sudah banyak pasang mata yang melihat ke arah celananya. Padahal itu hanya sedikit bercak, tidak masalah sebenarnya.
"Sedikit, it's okay. Mau langsung pulang?"
Tidak, Tisha belum selesai mengamuk. Ia akan melanjutkan acara mengamuknya, "Mau ke warung seblak, aku mau mam seblak sambil murkaaaa!" dengan sabar Jeffian mengangguk dan membenarkan letak tote bag Tisha dipundaknya, ia harus menemani teman putrinya disaat murka seperti ini.
"Baik, tuan putri."
.
.
."Ih rame ah, pulang aja."
"Nggak." ujar Jeffian sembari memutar kepala Tisha yang hendak berbalik arah ketika melihat warung makanan itu dipenuhi banyak gadis, ini nyaris jam lima sore dan lihat lah banyak sekali antrian ini. Tisha rasanya ingin menyerah saja.
Jujur saja, Tisha merasa tidak enak dengan Jeffian. Lelaki itu sudah mau repot untuk hari ini, "Rame lho, yang. Ayo pulang aja." rengek Tisha pada Jeffian namun tidak semudah itu. Mereka tidak akan kembali pulang sebelum Tisha mengeluarkan emosinya dan tentu saja dalam keadaan kenyang.
"Kamu duduk, ini minum. Di tas aku ada roti, makan dulu. Biar aku yang antri." ujar Jeffian final, setelah menyeret Tisha untuk duduk di meja kosong lalu memberikannya sebotol air mineral. Kebanyakan mereka membeli untuk di bungkus jadi ada beberapa meja yang nampak kosong, jika tidak seperti ini Tisha akan terus merengek karena antrian yang penuh dan tentu saja gadis itu tidak bisa berdiri terlalu lama.
Tisha menghela nafas, "Banyak cewek tapi."
"Mau makan nggak?"
"Mauuu."
"Yaudah disini diem, aku yang pesen. Kamu mau apa?" Jeffian enteng sekali berbicara seperti itu, Tisha tidak rela pacarnya di tatap oleh banyak gadis disini. Rasa ingin mengamuknya pun kembali lagi, memang hari ini emosinya sedang tidak stabil.
Kira-kira menu apa yang cocok untuk dirinya? Sedikit berpikir Tisha langsung tau apa keinginannya saat ini, "Seblak level 4 pake bakso, sama kuah bakso dipisah." ucapnya dengan semangat dan langsung diangguki oleh Jeffian yang tersenyum seraya mengusak rambut Tisha pelan sebelum mulai mengantri disana.
Jeffian santai mengantri dan Tisha yang melirik sinis kesetiap gadis yang menatap pacarnya, wajah Tisha menggambarkan betapa ia membanggakan effort Jeffian kepada pengunjung lain.
Lima belas menit berlalu dan pesanan mereka datang, Jeffian duduk disamping Tisha dan sibuk mengikat rambut si cantik karena Tisha lupa menaruh ikat rambutnya. Untung saja Jeffian selalu membawa ikat rambut hitam milik Tisha di pergelangan tangannya, "Pelan-pelan makannya, pedes itu." Tisha hanya menggelengkan kepalanya setelah Jeffian menasehatinya. Gadisnya paling jago jika soal makanan pedas.
Lalu kepala kecilnya ingat sesuatu, "Kemeja kamu?!" Jeffian hanya melirik pacarnya beberapa detik lalu kembali menikmati semangkuk seblak kecap miliknya. Jeffian suka kecap, semua orang harus tau itu.
"Bawa pulang aja nanti, aku di jok kan ada jaket yang penting kamu nggak malu." Tisha langsung menempel pada Jeffian dan mengucapkan banyak kata sayang. Tidak akan ia siakan lelaki seperti ini, sulit mencarinya. Tisha sayang sekali rasanya ingin membawa Jeffian pulang ke rumah dan tidak diperbolehkan kembali ke kostnya.
an.
Tisha be like : xixixixi iri kah, deck?