Bab 16

465 59 21
                                    

Selama demam, Junhui benar-benar tidak beranjak dari kamar. Pun, tidak mengeluarkan satu katapun pada orang rumah selain pada Joshua. Wonwoo...hm, Junhui belum bertemu dengannya. Mungkin dia merasa bersalah sampai tak mau menemuinya, terserah Junhui tidak peduli.

Ah, selama itu, Junhui juga banyak berfikir. Menimang-nimang saran Jihoon dan Joshua. Mungkin Junhui harusnya memang meminta penjelasan, bukan memilih kabur dan menjadi kekanak-kanakan. Uh, ia jadi sedikit menyesal. Bodoh sekali dirinya.

Tapi, sekarang Junhui sedang menebus kebodohan itu. Ia duduk disamping Papa setelah pagi-pagi Papa mengetuk pintunya.

“Ikut Papa yuk?”

Junhui tak banyak bicara, apalagi banyak bertanya saat mobil melaju. Ia duduk bersandar pada kaca mobil, memperhatikan kendaraan yang melaju dari samping, dan kemudian mobil berhenti di toko bunga. Ia masih diam, sampai Papa kembali masuk menyodorkan nya begitu banyak bunga.

“Ini,” Junhui menerimanya, bingung.

“Buat apa?” refleks, hidungnya mencium, tersenyum kecil merasakan aroma bunga mawar yang khas.

“Wangi gak?” Papa bertanya disampingnya, kembali melajukan mobil.

“Wangi. Juju suka bunga mawar, hmm sama Dahlia juga.” ia masih menciumi bunga, memperhatikan warna-warni yang menarik perhatiannya.

“Kenapa gak tanem aja di belakang rumah? Tanahnya bagus loh kalo di tanem bunga, Juju mau?”

“Mau! Juju pengen tanem banyak bunga, nanti...” Junhui berhenti, menoleh kesamping. Kenapa ia jadi bersemangat? Bukankah ia sedang mendiami Papa?

Seolah mengerti tatapan Junhui, Papa Yoon tertawa pelan. “Yuk turun.”

Kenapa cepat sekali sampai? Junhui tidak memperhatikan, namun saat turun ia mengangguk paham. Rupanya Papa ingin berziarah, pantas saja membeli bunga. Ia berjalan memimpin, membiarkan Papa membuntutinya dari belakang. Junhui sudah hapal jalan menuju sana, meskipun kadang ia suka kebingungan.

Tapi sebenarnya, Junhui jarang berziarah ke makam Mami Papi. Biasanya ia hanya pergi bersama Wonwoo, ia tidak berani berziarah sendirian. Terakhir kali datang sendiri, Junhui melamun sampai sore memandangi gundukan tanah dan rumput didepannya.

“Kamu mau kemana Ju?”

Junhui menoleh kebelakang, mengerjap. Ia mengambil jalan ke kanan sementara Papa berbelok ke kiri. Memangnya mau kemana?

“Ayo sini ikut Papa.” Junhui memandang makam Mami Papi yang sudah terlihat, namun tak urung mengikuti langkah Papa, berhenti disebuah makam tanpa nama.

“Ini makam nya siapa?” Junhui ikut berjongkok, tidak memperhatikan bagaimana raut Papa berubah sendu.

“Ini makam kembaran Papa, namanya Moon Heejin. Mama kamu.” suara Papa berat, Junhui mendengarnya dengan jelas.

Junhui merasa sesak, oksigen terasa menipis namun ia terdiam memandangi batu nisan dengan perasaan campur aduk. Tangannya terulur, mengelus pelan. Sedekat ini ia dengan Ibu kandungnya.

“Mama kamu pergi waktu usia kamu baru sebulan. Kakek nenek kamu waktu itu gak memungkinkan buat ngurus bayi, jadi hak asuhnya jatoh ke Papa. Tapi karena tepat banget Mami baru lahiran, dia bilang pengen adopsi kamu. Jadi Papa serahin hak asuh kamu sama Mami Papi.”

Tangan Papa terulur, mengelus rambut Junhui. Sementara dirinya diam, merasakan sebongkah batu terasa menindih dadanya.

“Gitu...” suara Junhui bergetar, serak. “Kenapa makam nya Mama gak ada namanya?”

“Mama kamu yang minta, dia bilang supaya orang yang paling dia benci gak bakal tau dimana dia.” tangan Junhui terulur, mengambil beberapa tangkai bunga dan meletakkannya diatas makam.

“Terus, Papa Juju dimana?” Junhui menoleh kesamping, melihat rahang Papa mengerat dan tangan yang mengelus rambutnya turun.

“Papa kamu ya Papa.”

Alis Junhui mengerut bingung, “Pa...”

“Jangan paksa Papa, Ju. Kamu cuman boleh tau sampai sini aja, ya? Papa gak sanggup buat cerita.” Mata Papa menatap Junhui, berkaca-kaca, tampak sedih dan akhirnya Junhui terdiam kembali menatapi gundukan tanah dengan banyak doa dalam batinnya.

“Papa minta maaf kalau kamu merasa Papa bohongin kamu.” tangan Papa kembali mengelus rambut, merambat pada punggungnya. “Waktu Mami sama Papi meninggal, Papa udah kasih berkas itu sama Wonu, buat kasih tau kamu juga.”

Air mata Junhui bergerumul, pandangannya menjadi buram.

“Mungkin Wonu gak terima kalo kamu bukan saudaranya, jadi dia sengaja gak ngasih tau kamu. Wonu takut kamu juga ninggalin dia Ju.” air mata Junhui akhirnya jatuh saat berkedip.

“Perbuatan Wonu kemaren emang gak bisa dibenerin. Harusnya semakin dewasa dia, tindakannya juga harus dewasa. Kamu boleh kok marah sama Wonu, tapi jangan lama-lama ya? Mau kalian saudara kembar atau bukan, kalian tetep anak Papa.” Junhui menangis dalam diam.

“Kamu masih mau disini? Papa tunggu di makam Mami Papi ya?”

Junhui hanya diam saat langkah Papa menjauh. Tangannya semakin memeluk buket bunga dengan erat. Ia mengelus kembali batu nisan, sebelum berdiri membatin, Mama, nanti Juju kesini lagi ya.

Untuk kedua kalinya saat itu, Junhui meletakkan bunga mawar diatas Makam Mami Papi yang berdampingan. Biasanya saat ia datang, Junhui suka berbicara banyak. Tapi ia tak yakin apa yang akan ia bicarakan sekarang. Jadi ia hanya diam, menghitung berapa banyak pertanyaan yang belum ia tanyakan pada Papa.

“Kenapa Papa setuju aja Mami adopsi Juju?” Junhui bertanya pelan, air matanya sudah hilang, namun sedihnya masih tertinggal.

“Mami sama Mama kamu temenan Ju. Kamu bisa bayangin kehilangan temen di hari yang sama saat lagi lahiran?” Papa menjeda, “Mami ngerasa sedih, gak bisa lakuin apa-apa waktu Mama kamu pergi. Dengan mengadopsi kamu, dia merasa itu satu-satunya cara buat bikin dia jadi lebih tenang.”

“Kamu inget kan? Papi bucin banget sama Mami. Papa sempet nolak loh, papa sama Mama masih bisa ngurus kamu, tapi demi Mami, Papi rela mohon-mohon ke Papa.” Papa terkekeh pelan, tersenyum sesaat.

Junhui terdiam. Ah, ia jadi merindukan mereka. Rindu bagaimana Papi selalu membuat keributan hanya untuk Mami. Tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu, ia bahkan sudah lupa bagaimana suara mereka.

“Kenapa Mama meninggal?”

Tidak ada jawaban, Junhui menoleh menatap Papa yang terdiam dan kemudian berdiri. “Ayo pulang, kamu belum sarapan. Kamu baru aja sembuh Ju.”

Junhui mengikuti langkah Papa menaiki mobil dalam diam. Sepanjang jalan, kepala Junhui sibuk berfikir. Perasaannya masih campur aduk seperti tadi.

Sampai tiba di rumah, perasaan Junhui malah semakin tak karuan. Ada Wonwoo di depan rumah, bersiap untuk mengajaknya bicara namun Junhui melengos masuk ke kamar.

“Ju...” Nanti dulu, Junhui masih harus banyak berfikir.

“Biarin Won, jangan maksa. Juju butuh sendiri dulu.”

Wonwoo masuk, berdiri di depan pintu kamar Junhui. Mungkin Papa benar, ia harus menunggu sedikit lebih lama lagi untuk berbicara dengannya.

***

Jadi gitu guys, tamat deh.

Ngga deng, wkwk. Maap kalo tidak menyentuh, tapi aku nulis ini beneran gak kuat. Huhu sedih banget, kasian Wonu, tapi lebih kasian Juju sih.🤧

Eh btw, tau gak sih, kemaren kan sempet hilang mood. Kek bener bener tiba-tiba bgt males, terus pas baca komenan mood balik lagi, sampe senyum² sendiri. Oleh karena itu ayo komen wkwk. Baaai!😽

Makasih ya dah baca dan vote

•yuaa

2 MINUS 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang