Karena Pak Engkus kelihatannya masih ingin berbicara, Nata menahan diri.
"Saya bekerja selama sepuluh tahun sebagai sopir Bu Amelia," lanjut si sopir. "Ibu adalah dosen yang aktif dan mengajar di beberapa kampus. Saya bertugas mengantar jemput Ibu setiap hari. Selama saya sopiri, Ibu tidak pernah minta macam-macam. Beliau memilih terlambat datang ke kampus daripada saya mengebut di jalan."
Nata agak malu. Dia termasuk orang yang suka ngebut di jalan— Avi pasti dengan senang hati akan memberitahu semua orang. Tapi itu dulu, waktu dia masih punya mobil.
"Pernah suatu ketika, mobilnya mogok kena banjir," tutur Pak Engkus. "Saya turun buat mendorong mobil. Nggak berapa lama, Ibu menyusul. Beliau menggulung celananya dan ikut mendorong mobil. Saya kaget dan malu sekali, tapi Ibu bilang dia nggak mungkin cuma duduk-duduk selagi saya ngedorong. Kalau ada kelas siang atau rapat yang berlangsung seharian, Ibu nggak pernah lupa memberi saya uang untuk membeli makanan. Beliau baik sekali sama saya dan Bik Siti, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah."
"Bu Amelia bos yang baik, ya," komentar Nata, hatinya tersentuh.
"Ibu bos terbaik," Pak Engkus mengangguk dalam-dalam. "Pas pensiun, Ibu masih jadi dosen tamu dan peneliti di beberapa universitas selama lima tahun. Tapi kemudian ginjalnya mulai bermasalah dan Ibu harus sering dicuci darah. Ibu memutuskan berhenti total mengajar, dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Karena udah jarang bepergian, saya mengundurkan diri sebagai sopir. Ibu minta saya tetap bekerja, tetapi saya nggak enak hati karena hampir nggak pernah menyetir lagi. Akhirnya Ibu menerima pengunduran diri saya. Mobilnya Ibu kasih untuk saya. Mati-matian saya tolak, tapi Ibu memaksa. Katanya hadiah..."
Hubungan yang hangat antara sopir dan majikan, Nata tersenyum di dalam hati. "Apa Bu Amelia tahu setelah itu Pak Engkus pindah ke Lux Aeterna?"
"Ibu yang kasih tahu saya soal lowongan di Lux Aeterna," jawab Pak Engkus. Matanya tampak berkaca-kaca. "Waktu itu saya berencana jadi sopir taksi online, pakai mobil pemberian beliau. Tapi Ibu kasih nasihat, bilang sebaiknya saya cari pekerjaan yang lebih pasti. Apalagi mengingat kondisi mobil yang udah tua, kemungkinan bakal perlu sering diservis kalau dibuat taksi online. Persyaratan jadi sopir mobil jenazah nggak sulit; yang penting nggak mengemudi ugal-ugalan, nggak merokok, dan punya pengalaman sebagai sopir. Gajinya jgua lebih pasti. Menurut Ibu, saya bisa menjalani pekerjaan itu dengan baik. Ibu orang pintar, dia bisa memikirkan hal-hal seperti itu." Bibir Pak Engkus bergetar, seperti ingin menangis. "Itu sudah tujuh tahun yang lalu. Suatu hari, Ibu muncul di rumah duka..."
Pak Engkus terhenti. Dia mengembus dengan berat.
"Saya kaget melihat Ibu. Beliau bilang mau lihat bagaimana keadaan saya di tempat kerja yang baru, tetapi saya kurang percaya. Rumah duka kan bukan tempat yang layak dikunjungi. Waktu itu Bu Amelia sempat mengobrol dengan Pak Manajer, tetapi saya nggak tahu kalau beliau sedang merencanakan acara pemakamannya..."
Pak Manajer? Nata tertegun. Bukannya Pak Engkus memanggil Avi dengan namanya saja? Atau yang dimaksud Pak Engkus itu manajer yang lain?
Nata ingin bertanya lebih jauh, tetapi tidak enak mengganggu cerita Pak Engkus. Tampaknya beliau sedang terkenang pada mantan bosnya yang baik hati itu. Pak Engkus melanjutkan dengan menceritakan kebaikan-kebaikan Bu Amelia yang lain.
Akhirnya mereka sampai di rumah Bu Amelia. Mereka disambut dengan ramah adik-adik Bu Amelia—sambutannya nyaris seperti anggota keluarga. Sambutan itu membuktikan baiknya hubungan Pak Engkus dengan keluarga Bu Amelia. Beliau adalah anak sulung dari delapan bersaudara. Selain anggota keluarga, para tetangga dan mantan anak didik Bu Amelia juga banyak yang datang melayat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stories from The Dead [TAMAT]
ChickLit[TAMAT] Hidup Nata hancur setelah tersangkut suatu kasus besar yang mencemarkan nama baiknya. Kehilangan pekerjaan dan nyaris jadi gelandangan, suatu hari tanpa sengaja Nata mampir ke rumah duka Lux Aeterna. Dia tidak menyangka bahwa Avi, cowok ding...