22. Jati Diri

223 95 7
                                    


Nata mengikuti nasihat mamanya dan mengambil hari libur. Dia tahu Avi pasti keberatan, jadi dia minta izin pada Soraya. Si sekretaris menyetujui tanpa banyak tanya. Soraya hanya berpesan supaya Nata tetap standby seandainya sewaktu-waktu diperlukan.

Awalnya Nata hanya berencana bersih-bersih rumah, mandi air hangat, lalu membaca sebuah novel. Hari libur yang sederhana. Dia terlalu lelah untuk merencanakan liburan yang sebenarnya.

"Lo libur tapi malah mageran di rumah," Jeje memprotes setelah melihat Nata hanya mendekam di sofa selesai mandi. Nata hanya tertawa. Dia sudah mengambil novelnya.

"Kenapa?" tuntut Jeje sambil melotot. "Dibikin bete lagi sama bos lo?"

"Enggak." Nata membetulkan posisi duduknya karena minder dengan postur tegak Jeje. "Gue cuma lagi bingung. Kayaknya nyokap gue udah curiga deh kalau kerjaan gue kayak gitu."

"Kayak gitu gimana? Lo open BO buat sampingan?"

"Sialan, lo!" Nata melempar Jeje dengan novelnya. Sahabatnya itu menghindar dengan lincah. "Maksud gue jadi perias jenazah. Gue malu kalau ketahuan nyokap, Je. Gue kan baru keluar dari penjara, tapi terus kerjanya kayak begini. Ini bukannya gue nggak bersyukur sama pekerjaan ini, ya. Gue udah sadar beggars can't be choosers, tapi ini soal nyokap."

"Tapi kan masih ada hubungannya sama makeup juga, Ta."

"Iya, sih. Cuma gue merasa..." Nata terhenti, bingung menemukan istilah yang tepat.

"Kehilangan jati diri?" usul Jeje.

"Itu! Gue seharusnya MUA, kan?" Nata meluruskan kakinya yang mulai kram karena terlipat. "Tapi sekarang jadi perias jenazah. Seandainya suatu hari nama gue udah bersih—gue nggak tahu kapan—gue takut jangan-jangan nggak ada lagi orang hidup yang mau gue rias. Sejak teleponan sama nyokap, gue kepikiran itu terus."

"Lo itu MUA yang juga bisa merias jenazah." Jeje pindah untuk duduk di sebelah Nata. "Kenapa lo malah galau? Klien lo bisa orang mati dan orang hidup. Lo itu multi-talent, Ta. Perias jenazah juga bisa merias orang hidup, tapi nggak semua MUA bisa merias jenazah. Kan lo sendiri yang bilang, merias jenazah itu butuh teknik khusus. Lo sendiri harus digembleng habis-habisan sama mentor lo sebelum diizinkan merias jenazah yang sebenarnya, kan?"

Nata memikirkan kata-kata itu sejenak. Benar juga.

"Lagian bukannya lo hepi sama pekerjaan ini?" sambung Jeje. "Kalau gue lihat-lihat, pekerjaan ini lebih banyak nilai plus-nya. Pertama, lo nggak perlu buang-buang duit untuk ganti makeup yang udah expired. Kedua, teman-teman lo di sana baik—kalau kenapa-napa, gue ragu ada yang berani nge-viralin elo kayak waktu sama Flawless Beauty. Kecuali mungkin si Avi."

"Dia juga baik, kok."

Jeje memicing curiga. "Bukannya lo nggak suka sama itu cowok gara-gara tengil?"

Nata menceritakan bagaimana Avi secara tidak langsung "menolong" para pegawai rumah duka yang lain dengan menawari mereka pekerjaan. Sambil menceritakan ini, Nata merasa bahwa dia memang telanjur mengecap Avi itu cowok angkuh.

"Kalau dasarnya dia baik, mungkin ada sesuatu yang bikin dia jadi bossy gitu," Jeje menebak-nebak. "Kayak si Miranda Priestly di Devil Wears Prada. Udah nonton, kan?"

"Eh, kalau yang itu memang beneran culas nggak sih?"

"Pokoknya maksud gue yang kayak gitu!"

Stories from The Dead [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang