"Avi?" Soraya tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Tante Norma mau ketemu kamu di kantor."
Para pegawai rumah duka yang lain ikut masuk, mereka berdiri berhimpitan di ambang pintu. Nata menebak sedari tadi mereka sudah menguping dari luar.
Avi menatap wajah-wajah penuh harap itu dan mengembuskan napas. Dia tahu dia tidak bisa mangkir lagi. Akhirnya si manajer mengangguk dan pergi ke luar. Soraya mengisyaratkan pada anak-anak yang lain untuk mengikutinya. Rombongan itu pergi berduyun-duyun. Hanya Soraya yang tetap tinggal. Ketika semua orang sudah pergi, si sekretaris mendekati Nata dan menepuk pundaknya.
"Aku udah coba kasih tahu dia," kata Nata. "Tapi... dia keras kepala sekali."
"Bukan keras kepala, Nat. Avi cuma takut."
"Takut?"
Soraya mengangguk. Dia membimbing Nata duduk di sofa, seperti seorang guru. "Apa Avi udah cerita ke kamu soal orangtuanya?"
"Dia cuma bilang ke aku kalau papanya meninggal. Soal ibunya yang selingkuh, aku udah tahu."
Soraya terdiam sejenak. Dia melepaskan kancing blazer-nya, mengendurkan kerah kemejanya dan bersandar di sofa.
"Sebetulnya dulu Avi benci sekali tempat ini. Sejak kecil, dia sering di-bully karena orangtuanya mengurusi jenazah. Dia berharap orangtuanya punya pekerjaan lain. Ibunya juga berselingkuh karena malu harus tinggal di rumah duka. Tapi setelah ayah Avi meninggal dunia, Bu Naomi sadar akan kesalahannya. Dia mewariskan tempat ini pada Avi untuk menunjukkan rasa bersalah—atau, menurut Tante Norma, sekedar melepas tanggung jawab. Kami nggak tahu mana yang sebenarnya. Cuma Avi udah nggak mau lagi berurusan sama mamanya."
"Eh, apa ini sejenis rahasia?" Nata ikut duduk. "Aku jadi nggak enak, nih."
"Bukan, bukan rahasia, kok." Soraya terkekeh. "Semua pegawai di sini udah tahu. Kami... menebak-nebak dan suatu kali Tante Norma mengonfirmasinya. Wanita itu memang bermulut besar. Cuma kamu yang belum tahu, jadi... kurasa kamu berhak tahu juga."
"Kalau Avi memang benci tempat ini... apa dia bertahan hanya karena kewajiban?"
"Dia merasa berutang budi sama papanya. Namanya Pak Anton," kata Soraya lambat-lambat. "Waktu tahu soal kelakuan ibunya, Avi marah. Dia menyalahkan Pak Anton yang kukuh mempertahankan rumah duka ini. Menurut Avi, seandainya ayahnya menjual tempat ini, ibunya nggak akan kabur dengan laki-laki lain. Dia nggak akan di-bully. Mereka bisa jadi keluarga yang 'normal', tanpa harus berhubungan dengan orang mati setiap hari.
"Tapi sebetulnya Pak Anton hanya menghormati pemberian dari mertuanya. Kakek nenek Avi—orangtua Bu Naomi dan Tante Norma—mereka pengusaha. Mereka punya banyak bisnis yang diturunkan pada anak-anaknya. Tante Norma sendiri diwarisi bisnis rental mobil. Cuma bisnis rumah duka ini saja yang... kurang diminati. Karena Bu Naomi anak yang terakhir menikah, dia mendapat satu-satunya bisnis yang tersisa, yaitu rumah duka ini. Bu Naomi sendiri enggan menjalani bisnis ini, tetapi Pak Anton menerima dengan lapang dada. Pak Anton dari keluarga sederhana: orangtuanya sudah meninggal dan dia anak tunggal. Keluarganya nggak mewariskan apa-apa dan sebelum menikah dia cuma seorang sales motor. Meski begitu, Pak Anton pekerja keras. Nggak seperti istrinya, dia bersyukur dapat tempat ini dan menjalankan bisnisnya dengan sungguh-sungguh."
Nata membayangkan berada di posisi ayah Avi. Baru menikah, dan 'dihadiahi' bisnis rumah duka. Entah harus tersinggung atau bersyukur. Tapi sepertinya Pak Anton optimis dan tidak berego tinggi. Tipe menantu idaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stories from The Dead [TAMAT]
أدب نسائي[TAMAT] Hidup Nata hancur setelah tersangkut suatu kasus besar yang mencemarkan nama baiknya. Kehilangan pekerjaan dan nyaris jadi gelandangan, suatu hari tanpa sengaja Nata mampir ke rumah duka Lux Aeterna. Dia tidak menyangka bahwa Avi, cowok ding...