18. Cincin

229 102 6
                                    


Teddy mengelap debu yang menempel di peti itu dengan tangannya. Dia menunduk untuk mengecek detail ukir-ukirannya. Dia tersenyum puas.

"Nggak ada yang kurang, kan?" Gian mendekat dan bertanya.

"Semuanya udah oke." Teddy menegakkan diri dan merangkul koleganya itu. "Terima kasih banyak! Kerja keras kita berhasil nih!"

Si kepala workshop mundur beberapa langkah untuk mengamati peti itu. Selama dua minggu, dia dan timnya berjibaku di workshop itu untuk menuntaskan peti pesanan khusus itu.

"Hei," Nata datang dari belakang dan menepuk bahunya. "Petinya udah siap? Klien hampir selesai di-formalin, sebentar lagi—wow!"

Teddy sedang melihat kilau takjub di mata si perias jenazah. "Gimana menurut kamu?"

Nata mengelilingi peti itu seperti mengagumi sebuah mobil sport. "Ini keren banget, Ted. Pekerjaan kalian luar biasa!"

"Harganya lima puluh juta."

"Li-lima puluh juta?"

"Peti pesanan khusus. Bahan dan ukir-ukirannya semua model custom."

Mengurus orang yang sudah meninggal itu butuh uang, tetapi Nata tidak menyangka bisa sebanyak itu. "Dari penampilan mereka, sepertinya keluarga klien memang cukup berada."

"Memang orang kaya," angguk Teddy. "Pemakamannya aja di San Angelo Hills."

Nata tahu tentang kawasan pemakaman elit di daerah Bekasi itu. Satu kavling tanah makam bisa dihargai hingga milyaran rupiah di sana. Selama dia bekerja di rumah duka ini, baru sekarang dia bertemu klien yang akan dimakamkan di San Angelo Hills.

"Kalau begitu, kita bawa masuk petinya sekarang." Teddy memberi isyarat pada Gian dan beberapa anak workshop yang lain. Mereka menaikkan peti itu ke atas kereta beroda dan mendorongnya beramai-ramai. Nata memimpin mereka menuju ruang pengawetan. Di sana, Caka sudah menunggu. Seorang gadis terbaring di atas meja logam sambil memakai gaun berbahan sifon berwarna peach. Meski belum dirias, gadis itu kelihatan cantik sekali.

Para laki-laki memindahkan jenazah itu dengan hati-hati ke dalam peti. Karena jenazah sudah diawetkan, tubuhnya sudah kaku sehingga pemindahan itu berjalan mulus.

Seperti memindahkan manekin, pikir Teddy. Dia puas karena peti buatannya pas betul dengan ukuran tubuh sang klien. Sekarang gadis itu terlihat seperti sedang terlelap di sebuah tempat tidur yang sangat indah.

"Selanjutnya bisa kita handle kok," kata Gian saat mereka mendorong peti itu ke Aula Cateleya. "Kalau lo mau pergi, udah boleh, Ted..."

"Teddy mau ke mana?" tanya Nata.

"Ada sedikit urusan," jawab Teddy. Tanpa sadar tangannya bergerak ke arah kalung berbandul penguin di lehernya. "Hari ini aku udah izin pulang cepat."

Nata ber-ooh paham. "Iya, kalau mau pulang, pulang aja."

"Nggak apa-apa, aku tetap di sini sampai ibadahnya selesai," kata Teddy.

"Tapi bukannya lo bilang..." Gian melongo. "Ini kan hari anniversary-nya?"

Teddy melihat Nata ikutan melongo.. "Iya. Cuma... Tiana nggak akan keberatan kok."

"Kamu mau pergi nge-date?" seloroh Nata.

Teddy tertawa. Anak-anak workshop yang lain dan Caka ikut tertawa dengan sopan. "Bukan nge-date. Tapi serius deh... aku masih bisa menunggu sebentar."

Stories from The Dead [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang