21. Yang Ditinggal

213 99 7
                                    


Kutajamkan telingaku untuk mendeteksi dari mana asal suara itu.

Kakiku bergerak seperti anjing pelacak, mengikuti firasat. Kenapa panggilan ini tidak diangkat? Keringat dingin mulai mengucur dari keningku. Di perempatan aku berbelok ke kiri, dan alunan ringtone itu jadi semakin jelas. Asalnya dari salah satu kamar di sekitar sini.

Di depanku, cahaya putih memancar dari salah satu ruangan yang pintunya terbuka. Suara ringtone bergema dari dalam ruangan itu. Kudekati ambang pintunya, tidak siap melihat apa yang ada di dalam sana. Tuhan, tolong. Aku begitu gugup sehingga tidak bisa berdoa dengan benar. Tolonglah, tolong... Hanya itu yang kuucapkan berulang-ulang dalam hati.

Ruangan itu kosong.

Hanya ada satu tempat tidur di sana. Seprainya rapi, bantalnya tersusun pada tempatnya, dan selimutnya terlipat. Di meja kecil dekat kepala tempat tidur, ponsel Intan berdering sambil bergetar. Aku menangkapnya sebelum ponsel itu terjatuh ke lantai.

Kenapa Intan meninggalkan ponselnya? Di mana dia?

"Anda siapa?"

Seseorang berdiri di dekat pintu, berbungkus baju hazmat putih sehingga kelihatan mirip astronot. Di dadanya tertulis: Ners ARIF dengan spidol merah.

"Sa-saya..." Aku tergagap-gagap. "Saya mencari Intan."

"Anda mau mencuri ponsel itu? Itu milik pasien!"

"Pasien? Tunggu, Anda salah paham. Ini ponsel Intan—"

"Anda tidak seharusnya berada di sini!" Perawat itu menghardik keras. "Berbahaya! Anda tidak pakai baju pengaman sama sekali! Anda bisa terjangkit!"

"Intan, teman saya... apa Anda melihatnya? Di mana dia?"

Bukannya menjawabku, Arif malah berjengit menjauh. Dia berlari ke koridor, dan mulai berteriak memanggil petugas keamanan. Kususul dia sambil terus bertanya tentang Intan. Di koridor utama, tiga orang satpam sudah menghadang kami. Aku mengenali salah satunya sebagai si satpam yang menahanku di lobi tadi. Mereka memakai jas hujan plastik warna kuning. Arif menunjukku dan ketiga satpam itu langsung menghambur ke arahku. Mereka menangkap tanganku dan memitingnya ke punggung. Ponsel Intan direbut paksa dari tanganku dan diserahkan ke Arif si perawat.

"Tunggu! Lepaskan saya! Saya hanya mau bertemu teman saya!"

"Ini area karantina! Mas nggak boleh di sini! Pasien-pasien di sini sekarat!"

Sekarat? "Apa maksud Anda?"

Para satpam itu tidak menjawab. Mereka menarikku ke arah lift. Aku melawan sekuat tenaga, menendang dan meninju mereka sebisanya meski gabungan kekuatan tiga orang pria kekar sama sekali bukan tandinganku. Seorang satpam menampar pelipisku dengan keras. Seketika kepalaku pusing, pandanganku mengabur.

Tepat saat itu, pintu di ruangan dekat meja jaga perawat terbuka. Dua orang perawat berpakaian hazmat mendorong sebuah tempat tidur besi. Sosok di atasnya tertutup selimut putih, samar-samar aku hanya bisa melihat telapak kakinya yang ramping dan pucat.

Seketika waktu terasa berhenti.

Dentingan lift yang membuka bergema di telingaku. Ketiga satpam menyeretku masuk tetapi aku meronta-ronta, berupaya bebas. Saat tempat tidur itu melintas di hadapanku, dari balik selimut putih, ada tangan yang terjulur keluar. Dari genggaman yang lemas itu, sesuatu terjatuh ke lantai: sebuah patung penguin, hadiah yang kubuat sebagai ucapan terima kasih.

Stories from The Dead [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang