7. Bunga untuk Ghea

263 118 2
                                    


Cher menyedot sisa susu kotak itu sampai habis. Dia tahu dua orang ibu-ibu yang ada di sebelahnya sedang mengamatinya dengan tatapan mencela, tapi Cher sudah terbiasa. Sejak memutuskan berpenampilan seperti ini, Cher selalu menarik perhatian orang-orang. Ada yang memujinya, tetapi banyak juga yang mencibir. Pilihannya memang bukan jenis mode yang umum.

"Anak muda zaman sekarang," keluh salah satu wanita itu. Lagaknya berbisik, tapi volume suaranya cukup lantang untuk didengar orang-orang. "Bajunya makin lama makin nggak jelas. Coba lihat, masa pakai gaun hitam dan penutup kepala kayak begitu?"

"Seperti petugas pemakaman, ya." Temannya menimpali dengan bersemangat.

Aku memang pegawai rumah duka, Cher menyahuti dalam hati dengan geli. Diremasnya kotak susu itu dan dilemparkannya ke tempat sampah.

"Sayang sekali. Padahal masih muda dan cantik," lanjut si wanita pertama tanpa tahu diri. "Kalau gayanya seperti itu, pasti susah dapat pacar."

"Benar banget. Cowok-cowok pasti ketakutan. Soalnya dandannya kayak setan...."

Cher selalu kagum pada orang-orang bernyali besar yang sanggup menggosipi orang lain tepat di depan yang bersangkutan, seperti kedua wanita ini. Dia sendiri sadar dirinya suka ceplas-ceplos, tapi setidaknya Cher masih mampu menahan diri dan tidak sebarbar ibu-ibu ini. Cher diam saja dan pura-pura memerhatikan layar televisi di belakang etalase. Dia kepengin tahu sampai mana para wanita itu akan menggosipinya.

"Cher!"

Ada yang menepuk pundaknya. Cher berbalik dan melihat Nata terengah-engah dan bersimbah keringat di belakangnya. Gadis itu terbelalak sejenak—dia masih belum mahir menyembunyikan kekagetannya setiap kali melihat penampilan gothic Cher yang seakan kian nyeleneh setiap hari.

"Pagi Nata. Latihan buat ikut lomba lari lintas alam?"

"Ada demo di perempatan itu, jadi aku cepat-cepat lari ke sini. Maaf aku terlambat."

Cher membiarkan Nata bertumpu pada kedua lutut dan membuka mulutnya lebar-lebar untuk mengambil oksigen. Gadis itu kelihatan kepayahan. Disodorinya Nata sebotol air mineral yang diterima oleh si perias jenazah dengan penuh rasa syukur. Kedua ibu-ibu tukang gosip itu sudah menyingkir.

"Kamu sendirian?" tanya Nata setelah napasnya pulih. "Desi sama Disa di mana?"

"Mereka harus standby di kantor karena aku pergi."

"Kalau begitu, mana bunga-bunganya?"

Cher menunjuk empat buket bunga besar-besar yang sudah disisihkan pemilik toko.

"Apa Pak Engkus bakal jemput kita?" tanya Nata. "Atau Avi?"

Cher menggeleng. Dia menunjuk sepeda berkeranjang miliknya yang diparkir dekat situ. "Kita boncengan naik ini saja. Itu alasan aku minta tolong ke kamu hari ini. Jangan bilang ke siapa-siapa. Bisa kan?"

Cher melihat Nata menelan ludah sebelum mengangguk. Nata memang selalu bisa diandalkan. Aku memang tidak bilang bakal ada empat buket besar-besar sih....

"Permisi, Bu Lina," Cher memanggil si pemilik kios. "Saya mau bayar."

Nata melihat Cher mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu dari dompetnya. "Jangan lupa minta nota untuk di-reimburse," dia mengingatkan.

"Nggak perlu. Ini aku bayar pakai uang pribadi."

Nata terkejut mendengar itu. Memangnya bunga-bunga ini untuk apa?

Dia baru mau bertanya ketika muncul dua foto wajah laki-laki dan perempuan di layar televisi di belakang etalase itu, berlatarkan menara jam Big Ben di London, kelihatannya sedang menikmati liburan. Teks yang muncul di pita di bagian bawah layar berbunyi: Pemilik Flawless Beauty masih buron.

Stories from The Dead [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang