27. Senin

230 97 7
                                    


Di awal pekan itu, suasana rumah duka Lux Aeterna tampak sepi. Gerbang depannya terkunci, dan ada kertas besar menggantung di gagang pintu, bertuliskan: Kami Tutup Sementara.

Suasana di dalamnya juga lengang. Aula Cateleya sedang ditutup. Namun dari balik pintu kacanya, terlihat beberapa pria sedang mengecat dinding-dinding dan menggulung tirai raksasa di panggung. Di dalam gedung, ruangan florist tampak kosong dan hangat. Bunga-bunga yang biasa berjubel di tempat itu tidak kelihatan. Tiga wanita yang bekerja di sana sibuk menyikat lantai, membersihkan rak-rak dan mengatur peralatan. Di ruangan-ruangan lain juga begitu, para pegawai yang biasa lalu-lalang kini sibuk bersih-bersih. Bahkan workshop kayu yang biasanya penuh gunungan serbuk kayu kelihatan bersih.

Pintu ganda kantor terbuka lebar. Si sekretaris sedang berkutat memilah setumpuk dokumen. Beberapa kertas di tumpukan itu sudah menguning, pertanda usia. Ada dua kardus besar di bawah meja, berlabel Untuk Dibuang dan Diarsip. Dari koridor depan kantor, terlihat dua ambulans dan sedan rumah duka yang penuh sabun karena sedang dicuci. Kursi-kursinya dicabut dan dicuci, sementara karpet-karpetnya sudah disikat dan sedang dijemur.

Nata kebingungan harus membantu yang mana dalam acara bersih-bersih massal ini. Dia satu-satunya pegawai yang tidak punya pos di rumah duka. Saat bekerja dia pergi ke aula atau ruang persiapan, dan biasanya dia beristirahat di kantor.

"Selamat pagi."

Ada yang menyapanya dengan lembut. Nata berbalik dan melihat Naomi berdiri di belakangnya. Wanita itu memakai dress berbahan ringan dengan motif bunga-bunga. Dia tersenyum.

"Ah, Bu Naomi. Selamat pagi."

"Kamu Nata, kan?"

"Betul, Bu. Saya perias jenazah."

"Maaf ya, saya masih menghafal nama-nama pegawai yang baru. Kalau yang udah senior seperti Pak Engkus dan Soraya, saya masih ingat." Naomi mengajaknya bersalaman dan Nata menyambutnya. "Hari ini kan libur. Kamu nggak perlu mampir ke sini, lho."

"Oh, iya. Soal itu... saya cuma nggak enak tinggal di rumah. Kan udah tiga hari rumah duka nggak beroperasi."

Naomi tertawa. Rupanya dia jenis wanita elegan yang menutup mulut dengan tangan saat tertawa. "Yang lain juga berpikir begitu. Saya kaget sekali saat melihat mereka muncul pagi-pagi sekali. Terima kasih, ya."

Nata ikut tertawa. Baginya rumah duka ini bukan sekedar tempat mencari nafkah, tetapi sudah menjadi rumah keduanya. Empat bulan lalu, Natak tidak pernah berpikir untuk menyebut rumah duka sebagai rumah keduanya.

Tapi di sini aku merasa aman dan nyaman.

"Saya butuh bantuan orang yang berjiwa artistik, nih," kata Naomi. Dia memberi isyarat agar Nata mengikutinya. Mereka menyusuri koridor menuju ke taman samping.

Nata mencuri-curi pandang mengamati Naomi. Dalam jarak dekat, terlihat bahwa Avi mewarisi hidung lurus dan tinggi itu dari ibunya. Wajahnya yang ramping dan kecil juga mirip seperti Naomi. Wanita itu hanya memakai riasan minimalis sehingga kecantikan alaminya terpancar jelas.

"Apa kamu bakal tinggal sampai selewat makan siang?"

"Ya. Saya berniat membantu yang lain bersih-bersih."

"Baguslah. Irma mau mampir nanti siang." Naomi menyelipkan poninya yang tertiup angin. "Dia mau membahas soal tempat ini. Saya yakin kamu dan para pegawai yang lain mau tahu apa yang akan terjadi pada tempat ini."

Stories from The Dead [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang