20. Tugas

208 93 4
                                    


Setelah tanganku pulih, aku datang ke puskesmas untuk bertemu Intan. Kulihat dia sedang berkutat dengan catatan pasien ketika aku masuk. Raut wajahnya yang kusut seketika cerah. Melihatnya tersenyum seperti itu, aku jadi ikut tersenyum.

"Hai."

"Halo."

"Aku mau mengucapkan terima kasih." Kusodorkan bungkusan yang kubawa padanya. "Karena lewat bantuan kamu, aku jadi bisa bekerja lagi."

Intan mengambil bungkusan itu. Dia kelihatan tidak rela ingin membukanya, jadi aku mengangguk untuk meyakinkannya. Begitu bungkusan itu dibuka, matanya berbinar-binar.

"Cantik sekali." Dia mengangkat patung penguin seukuran telapak tangan itu dan memutarnya. "Kamu memang berbakat! Ini pajangan, ya?"

"Ini tempat pulpen. Lihat, bagian kepalanya bisa dibuka."

"Oh, iya. Keren banget." Dia langsung menaruhnya di meja, dan memasukkan beberapa pulpen. Dia mengamat-amati patung itu sebentar, lalu tertawa. "Aku kok nggak tega memakainya. Imut banget soalnya."

"Pakai aja. Nanti aku buatkan yang lain lagi."

"Eh, jangan ah. Aku nggak mau merepotkan begitu."

"Nggak merepotkan kok. Aku kan memang pengrajin kayu."

Intan mengelus paruh mungil si penguin dan menatapku. "Terima kasih banyak."

"Sama-sama." Kudekati dia. "Umm, ngomong-ngomong... a-apa nanti malam kamu ada a-acara? Mak-maksud aku, apa kamu sibuk?"

Intan menggeleng. Senyumnya melebar. "Ya, aku mau."

"Eeeh?"

"Kamu mau mengajak aku jalan-jalan, kan?"

Aku kaget sekali. "Kok tahu?"

Intan hanya mengangkat bahu. Dia menelengkan kepalanya, matanya yang besar dan bercahaya itu kelihatan cantik sekali. Selama beberapa detik kami hanya bertatapan, debar jantungku mulai menggila. Aku merasa nyaris pingsan seandainya saja tidak ada pasien yang menghampiri Intan.

"Sampai ketemu nanti malam," bisiknya, saat mengantarku ke luar.


...


Malam itu kami jalan-jalan keliling kota naik motor. Aku menawari Intan pergi ke kota untuk nonton film di bioskop, tetapi dia bilang tidak perlu. Sepertinya dia jenis orang yang kurang cocok dengan keramaian kota. Akhirnya kami hanya menyambangi kios-kios makanan di dekat pantai sambil mengobrol dan mendengarkan penampilan musisi jalanan.

Aku belum berani menyebut peristiwa malam itu sebagai kencan, tetapi rasanya kami memang sedang berkencan.

Di minggu-minggu selanjutnya, kami rutin pergi jalan-jalan bersama. Desa kami ini sedang dirintis menjadi desa wisata, jadi ada saja kafe atau tempat-tempat wisata baru yang buka setiap minggu. Tidak selalu kami pergi makan, terkadang kami hanya menikmati pemandangan sambil mengobrol. Suatu hari Intan bilang dia ingin melihat karya-karyaku yang lain, jadi aku mengajak dia mampir ke rumahku. Kupikir dia akan bosan—workshop bukan tempat yang nyaman bagi perempuan—tapi ternyata Intan menikmatinya. Kukenalkan gadis itu pada Ayah dan Ibu—rupanya mereka sudah dengar tentang si perawat puskesmas yang ramah. Kedua orangtuaku terkesan dengan Intan dan mereka menerimanya. Sejak kunjungan itu, Intan selalu minta diantarkan ke rumahku sebelum kami pergi jalan-jalan.

Stories from The Dead [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang