16. Badai

231 102 5
                                    


Latar belakang Avi semakin membuat Nata penasaran. Selama ini Nata salah mengartikan tatapan sedih di mata Avi sebagai sleepy eyes alias mata mengantuk. Dia yakin sesuatu terjadi pada cowok itu, dan membuatnya memilih jadi manajer rumah duka. Rasanya tidak ada cowok berakal sehat yang sengaja memilih bekerja di rumah duka.

Jadi Nata nekat melakukan investigasi kecil-kecilan. Pertama dia ingin memastikan umur Avi dulu. Selama ini dia percaya manajernya itu lebih muda darinya, meski bisa jadi dia keliru. Nata tahu beberapa selebriti cowok yang rajin perawatan kulit dan menjalani pola hidup sehat yang punya tampang muda meski usianya sudah kepala tiga. Kelihatannya hidup Avi cukup sehat: dia cuma merokok permen cokelat dan tidak sering begadang karena matanya tidak pernah berkantong. Soal perawatan muka, Nata yang sudah merias ribuan wajah merasa Avi tidak memakai skincare berlebihan.

Tapi kalau ternyata Avi lebih tua dari dugaan Nata, maka wajar saja dia memilih profesi ini. Mencari pekerjaan di zaman sekarang ini sulit, Nata sudah merasakannya sendiri.

Jawaban atas umur Avi bermacam-macam.

"Kayaknya sih belum lewat tiga puluh," jawab Cher yakin. Disa dan Desi kompak mengangkat dua dan lima jari.

Soraya malah menyalahartikan pertanyaan Nata. "Kenapa, kamu mau kasih dia kado?" tanya si sekretaris dengan tampang curiga. "Ulang tahunnya awal Juli kalau nggak salah. Masih tahun depan. Kalau bisa jangan kasih makanan manis, Avi kurang suka."

"Setahu Bapak, Avi masih muda banget," sahut Pak Engkus, nadanya seperti menebak-nebak. "Mungkin sembilan belas? Bapak rasa masih seumur anak kuliahan, Neng."

Nata juga menanyai Teddy dan para pekerjanya di workshop.

"Kak Avi ya?" Teddy menggaruk-garuk kepalanya sambil nongkrong di dalam peti. Hari ini dia memakai kaus tanpa lengan, membuatnya kelihatan makin mirip anak-anak. "Kita nggak ada yang tahu. Soalnya di kue ulang tahunnya nggak pernah ada lilinnya."

"Dia benci ulang tahun," Gian menimpali. "Paling sebal kalau dikasih surprise."

"Tapi Kak Avi tahu musik-musik tahun sembilan puluhan," sambung Teddy, dengan nada bicara ala Gen Z yang membuat kaum milenial seperti Nata merasa setua dinosaurus. "Jadi kemungkinan anak sembilan puluhan tuh. Kenapa kamu kepengin tahu, Nata?"

"Penasaran aja," Nata berkilah.

Dia cepat-cepat menyingkir ke dalam. Saat lewat di depan ruang pengawetan, dia dipanggil Caka, salah satu petugas yang bekerja di sana. Cowok itu pernah ikut menemani Nata dan Pak Engkus saat menjemput jenazah Bu Amelia.

"Nat, sebelum lo rias, gue rasa lo perlu tahu tentang klien yang satu ini," bisik Caka. Dia mendorong pintu logam ruang pengawetan hingga terbuka lebih lebar.

Nata masuk ke dalam. Ruangan itu mirip kamar bedah; semua peralatannya terbuat dari perak. Suhunya juga dingin sekali, seperti kamar bunga Cher. Napas Nata langsung membentuk awan-awan uap kecil.

Caka mengedik pada klien hari itu yang sedang terbujur di meja logam panjang di tengah-tengah ruangan. Nata minta izin pada gadis muda itu untuk mendekatinya untuk melihat lebih jelas.

"Rumah sakit sudah membetulkan. Gue juga udah berusaha..." Caka menunjuk jahitan-jahitan panjang di wajah, leher dan sekujur tubuh gadis itu. "Nanti tolong dirapikan lagi ya."

Luka-luka itu jelas bukan disebabkan oleh operasi. Nata menahan rasa ngeri yang menderanya. Meski sudah dijahit di sana-sini, penampilan gadis itu masih cukup tragis. Klien tersebut adalah korban kecelakaan. Nata tidak berani bertanya lebih jauh kecelakaan semacam apa yang dialami gadis itu.

Stories from The Dead [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang