14. Memaafkan

211 110 12
                                    


Petunjuk pertama muncul lewat lebam kebiruan di lengan Tantri.

Siang itu aku terpaksa pulang ke rumah lebih awal karena angkotku nogok dan harus dibawa ke bengkel. Aku melihat Tantri sedang menyetrika pakaian di ruang tengah. Meski sudah sore, cuaca masih panas dan Tantri hanya memakai daster berlengan pendek.

"Tanganmu kenapa, Tri?"

Tantri tidak mengangkat wajah dari pekerjaannya. "Aku tadi jatuh, Mas."

"Jatuh bagaimana?"

"Terpeleset saat mengambil jemuran. Halaman belakang basah karena hujan tadi pagi."

"Wah, lain kali hati-hati."

Lebam itu terlihat menyakitkan. Aku menawarkan diri untuk mengurutinya, tetapi Tantri menolak dengan lembut. Katanya sudah dioles obat gosok, dan akan sembuh sendiri.

Tapi dua minggu berikutnya, aku melihat ada lebam lain, kali ini di betis kanannya. Aku melihatnya saat dia hendak memakai sepatu sebelum berangkat mengajar. Padahal lebam yang pertama itu belum sepenuhnya memudar.

"Yang itu kenapa lagi?"

"Kemarin terbentur motor seorang murid di sekolah." Lalu Tantri cepat-cepat menambahkan. "Anaknya sudah ditegur. Katanya dia tidak sengaja. Ya sudah, aku maafkan saja."

Minggu berikutnya, muncul lebam baru di dahi Tantri. Dia bilang dia menabrak pintu karena kacamatanya sudah buram. Kami pergi ke optik supaya Tantri diperiksa dan ternyata kacamatanya memang sudah tidak cocok lagi. Aku yakin kacamata baru akan membuat Tantri lebih awas. Kupikir kacamata yang lama mengganggu penglihatan Tantri. Selama seminggu semuanya tampak baik-baik saja, sampai aku menemukan lebam baru di siku kirinya.

Kali ini aku tahu ada yang tidak beres. Kutanyai Tantri. Awalnya dia mengelak dan bilang sikunya membentur bak mandi saat sedang mengurasnya, tapi aku tidak percaya. Mana mungkin dia mengalami kecelakaan beruntun sampai empat kali berturut-turut?

Terus kudesak dia. Akhirnya istriku mengaku.

"Belakangan ini aku sering pingsan, Mas."

"Pingsan?" Aku langsung waswas. "Pingsan kenapa? Apa kamu sakit kepala?"

"Entahlah," Tantri mengurut-urut keningnya. "Tiba-tiba saja aku hilang kesadaran."

Ini kedengaran berbahaya buatku, jadi kupaksa Tantri untuk pergi ke Puskesmas. Dari kerutan di dahi sang dokter, aku curiga hasilnya tidak menggembirakan. Tantri ke rumah sakit besar untuk diperiksa lebih menyeluruh. Setelah berbagai macam pemeriksaan yang menguras tabungan kami, akhirnya penyebab Tantri sering pingsan terkuak.

Istriku terserang kanker otak.


...


Pak Engkus terhenti dan menatap wajah Tantri di foto. Ekspresinya getir.

"Saya... turut berdukacita, Pak," kata Nata penuh empati.

"Pasti Neng Nata berpikir Tantri meninggal karena penyakit itu," balas Pak Engkus. "Dulu saya juga merasa begitu—penyakit itu akan membunuh Tantri. Setiap kali mendengar ada yang kena kanker, saya selalu berpikir orang itu umurnya tidak panjang lagi."

Kanker memang penyakit yang mematikan, batin Nata. Apalagi kanker otak.

"Tapi bukan itu yang terjadi," sambung Pak Engkus. "Tantri kena kanker stadium dua. Harapan hidupnya masih di atas tujuh puluh persen, dan dokter yakin Tantri masih bisa diobati. Dokter melakukan operasi untuk mengangkat sel-sel kanker di kepala Tantri. Operasinya berjalan lancar. Setelahnya dia diminta menjalani kemoterapi dan pengobatan. Biayanya besar, dan saya morat-marit banting tulang, serta mencari pinjaman ke mana-mana. Tapi tekad Tantri untuk sembuh besar sekali, sehingga saya yang tadinya ragu-ragu jadi ikut berharap juga. Tersentuh oleh semangat juangnya, saya bilang ke Tantri kalau dia sembuh, kita akan jalan-jalan lagi seperti waktu masih pacaran.

Stories from The Dead [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang