Bab 3

97 10 2
                                    

Udara sejuk pedesaan menyambut pagi Arial dan para anggota Raksaka. Kicauan burung dan sunyi sekitar menjadi melodi ketenangan untuk mereka.

"Haaaahhhh. Sejuk banget udara di sini," ujar Ghifary.

"Lu bener, Far. Udah lama sejak kita nggak menghirup udara segar tanpa polusi begini," sahut Arka.

"Kalau gitu, anggap aja kita lagi liburan sekalian refreshing otak karena bentar lagi ujian," sambung Ardan.

"Yoii, mamen!" seru mereka bertiga serentak.

Arial tersenyum tipis melihat interaksi ketiga temannya. Mereka tidak salah. Sudah lama sejak terakhir kali mereka menghirup udara segar pedesaan seperti ini.

"Ntah kenapa, gua ngerasa hidup gua nggak akan semenyenangkan ini kalau nggak ada kalian," gumamnya.

"Kalau bukan karna lu, kita juga nggak mungkin ngumpul kayak sekarang." Nizam menyahuti dari arah belakang Arial.

"Sejak kapan lu di situ?" tanya Al. Dia kaget tiba-tiba ada suara di belakangnya.

"Sejak lu senyum terus bergumam," jawabnya santai.

"Tapi gua serius. Kalau bukan karena lu yang bangun Raksaka, kita nggak mungkin bisa kayak sekarang," lanjut Nizam lagi.

"Lu bener. Artinya gua berhasil ngebangun rumah kedua gua dengan pondasi yang kokoh. Dan gua berharap pondasi itu nggak akan pernah roboh atau hilang satu per satu," ucap Arial penuh harap.

"Ya semoga," jawab Nizam.

"Sarapan selesai. Semuanya masuk ayok, kita sarapan bareng!" seru Arya. Mereka sadapan dengan khitmad. Walau lauk seadanya, yang penting adalah kebersamaannya.

#####

Siang pun tiba. Raksaka bersiap untuk memulai langkah pertama mereka untuk membantu warga desa.

"Al! Gua rasa air ini cukup buat ngalirin sawah, deh. Tapi kita butuh banyak orang untuk bikin alirannya," jelas Arman.

"Lu bener juga. kita masih butuh orang," ucap Arial.

"Nak Arial!" panggil Pak Yanto. "Kami para warga siap membantu untuk membuat aliran air ke sawah," kata Pak Yanto. "Lagi pula ini kan desa kami, jadi kami juga harus ikut ambil bagian buat bantu-bantu kalian," lanjutnya.

"Syukur kalau begitu. Man! Kita udh cukup orang. Kita bisa mulai sekarang," komando Arial. Mereka mulai membuat parit-parit kecil untuk membuat air mengalir ke arah sawah. Pekerjaan menjadi lebih singkat dan menyenangkan karena candaan para bapak-bapak dan digabung dengan ke absurd-an para anggota Raksaka.

"Eh, eh! Gua punya tebak-tebakan. Cacing-cacing apa yang bisa jualan?!" tanya Ardan.

"Cacing ... Cacingan," jawab Yuda.

"Cacing apaan?" Asep menyerah.

"Cacing yang bisa jualan itu ...

... Cacingmen Cacingmen. Kacang Kuaci Permen," seru Ardan ala ala abang-abang di dekat lampu merah.

"CANGCIMEN, NYETT!" teriak mereka kesal.

"Lah, emangnya udah diganti? Seinget gua cacing loh," ucap Ardan membela diri.

"Au dah."

"Bodo amat."

"Nggak denger gua pake sempak."

Sahut mereka yang merasa kesal.

"Eh bentar-bentar, gua ada lagi nih. Ikan-Ikan apa yang bikin salting?" tanyanya.

"Iiiii kan aku," jawab Arka.

"Dih, ge'er lu. Bukan, salah-salah," balas Ardan.

"Ikan apaan? Ikan Cupang?" Bayu juga ikut menjawab.

RAKSAKA NAGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang