Bab 10

27 2 0
                                    

Seperti yang dikatakan Ghifary, malam ini mereka berkumpul di basecamp. Sunyi. Hanya suara jangkrik yang entah dari mana datangnya yang menemani mereka.

Ghifary menatap temannya satu per satu. Melihat suasana suram ini membuatnya ragu ingin mengatakannya. Akan tetapi acara perpisahan sekolah tinggal seminggu lagi, dan mereka juga akan sibuk untuk mendaftar ke kampus yang mereka pilih masing-masing nantinya. Jadi kemungkinan mereka akan jarang bertemu sampai menjelang perpisahan nantinya.

"Guys!" panggil Ghifary untuk mengambil perhatian mereka. Mereka menoleh ke arah Ghifary.

"Gua mau nyampein sesuatu. Soal kepergian gua ke Surabaya," ucapnya dan berhenti sejenak melihat ke arah teman-temannya. "Selesai acara perpisahan sekolah, gua langsung berangkat ke Surabaya. Gua tau kita bakal sibuk setelah ini. Makanya gua bilang sekarang sama kalian," lanjutnya.

"Gua juga bakal ke Belanda," ucap Nanda tiba-tiba. Yang lain langsung menoleh ke arahnya. "Gua mutusin buat ke Belanda. Itu kemauan bokap gua. Gua udah mikirin ini seharian dan maaf kalo keputusan mendadak gua bikin kalian nggak nyaman," lanjutnya.

"Huhh!" Arial menghela napasnya. "Kita jadinya misah-misah, ya?" tanyanya.

"Ya setidaknya, empat di antara kita masih stay di sini. Kita bisa satu kampus, 'kan?" ujar Nizam.

Ardan melirik Arka. "Tiga. Yang satu kan mau nganggur," celetuknya. Kalimat pertama yang keluar dari mulut Ardan.

Arka yang merasa kalimat itu untuknya menghela napas. "Gua lanjut, Dan. Gua bakal kuliah. Di kampus yang sama kayak lu," ucapnya. Ardan diam. Dia masih kesal pada Arka.

"Bener lu mau kuliah?" tanya Ghifary memastikan. Arka mengangguk.

"Yahh ... bunda juga nggak ngizinin gua buat berhenti di SMA aja. Jadi ya udah," jawabnya dan melirik Ardan. "Lagi pula kalau gua nggak lanjut kuliah, monyet gua nggak ada yang antar-jemput entar," lanjutnya sambil terkekeh.

Teman-temannya yang mengerti siapa 'monyet' yang dimaksud oleh Arka pun tertawa. Begitu juga Ardan, tapi dia tidak tertawa, justru dia menatap tajam Arka.

"Monyet?" tanyanya. "Jadi selama ini lu anggap gua monyet?!" protesnya. "Jadi lu nggak anggap gua temen lu? Jahat lu ya! Nggak nyangka gua. Parah lu!" ujarnya.

Brakk!

Ardan pergi setelah menendang kursi yang tadi ia duduki. Mereka semua cengo, kaget dan speechless. Ada apa dengan teman mereka ini? Apa dia masih marah? Kenapa menjadi sensitif seperti ini? Mereka panik. Apakah Ardan benar benar marah?

Tokk! Tokk! Tokk!

Suara ketukan pintu dari arah luar basecamp menarik mereka dari lamunan. Tak lama Ardan memperlihatkan kepalanya.

"Panik nggak? Panik nggak? Paniklah! Masa enggak?!"

"ARDAN BANGSAT!" teriak mereka dan mengejar Ardan beramai-ramai. Ardan yang melihat situasinya yang kemungkinan akan babak belur pun mencoba melarikan diri dengan memutari halaman basecamp.

"KESINI LU KUTIL BADAK!" teriak Arka.

"JANGAN KABUR LU UPIL KUDA!" teriak Ghifary juga.

"TEMEN SETAN!" tambah Nanda.

Sumpah serapah terus diterima oleh Ardan karena kejahilannya. Setelah lelah mereka berhenti dan menidurkan diri di rerumputan halaman basecamp sambil menatap langit.

"Hah, hah, hah ... capek banget gua," ujar Ardan.

"Salah lu. Kenapa lari-lari nggak jelas," sahut Arka.

"Ya abis kalian kenapa ngejar gua?" tanyanya.

"Abis muka lu ngeselin," jawab Ghifary.

"Dih! Muka ganteng gini kok," ujar Ardan.

RAKSAKA NAGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang