Bab 6

41 6 2
                                    

Arka memarkirkan motornya di garasi rumahnya. Setelah mengantar Ardan pulang, dia juga memutuskan untuk pulang karena tidak ingin membuat bundanya khawatir.

"Assalamualaikum Bunda. Arka pulang," salamnya.

"Dari mana saja kamu?" pertanyaan dengan nada rendah yang menjawab salam darinya. Bukan bundanya yang menyambutnya, justru seseorang yang tidak dia harapkan. Ayahnya.

"Kumpul sama temen-temen," jawab Arka.

"Main sampai tidak ingat pulang?" ucap ayahnya.

"Arka udah izin sama Bunda," belanya.

"Jadi ini yang diajarkan Bundamu selama Ayah tidak ada? Membiarkanmu menjadi anak berandalan seperti ini? Lihat! Lihat wajahmu itu. Abis tawuran kamu, hah?!" bentak ayahnya.

"Yah! Pliss jangan salahin Bunda. Arka yang salah," ucap Arka.

"Ayah tidak akan marah pada Bundamu, kalau Bundamu mengurusmu dengan benar. Bukannya seperti ini. Membiarkanmu berteman dengan anak-anak nakal itu. Membuatmu tidak tau aturan seperti ini," marah ayahnya.

"Yah!! Arka..."

"Arka. Udah, ya? Kamu mandi dulu, ya? Habis itu makan. Bunda udah masakin makanan buat kamu," potong bundanya. Selalu seperti ini. Setiap kali Arka ingin membela diri atau membela bundanya, bundanya selalu menghentikannya. Arka pun berlalu pergi menuju kamarnya.

"Lihat anak kamu! Apa yang kamu ajarkan padanya, hah?! Tidak tau aturan. Tidak sopan seperti itu! Begitu kamu mengajarinya?!" bentak ayah Arka pada bundanya. Inilah setiap hari yang ia dengar jika ayahnya pulang ke rumah. Bentakan pada bundanya, dan bundanya hanya diam. Setiap kali Arka bertanya kenapa, bundanya hanya diam. Bundanya hanya tersenyum dan mengatakan jika seorang istri tidak boleh meninggikan suaranya pada suaminya. Padahal Arka sudah mengatakan berulang kali, ayahnya itu salah. Akan tetapi bundanya tetap membela ayahnya.

Maka dari itu Arka tidak pernah melawan ayahnya. Karena bundanya. Selagi ayahnya tidak main tangan dengan bundanya, Arka akan tetap diam. Tapi jika itu sudah terjadi, Arka yang akan maju paling depan untuk menghajar ayahnya. Biarlah ia dikatakan anak durhaka oleh ayahnya. Karena baginya, sang bunda adalah dunianya.

Di dalam kamar, Arka berteriak dan membanting seluruh barang yang ada di meja nakasnya. Dia marah pada dirinya. Dia anak laki-laki bundanya, tapi tidak pernah bisa membela bundanya dari amarah ayahnya. Dia kecewa pada dirinya.

Tak jauh di seberang sana. Ardan, anak itu melihat semuanya. Sifat yang tidak pernah Arka tunjukkan pada siapapun, tapi Ardan mengetahuinya. Mereka memang tetangga, mereka juga teman sedari kecil. Karena itu Ardan sudah sering melihat Arka seperti ini. Dia hanya melihat tanpa melakukan apa-apa. Dia hanya akan ada di dekat Arka untuk menghiburnya.

"Huffftt," desah Ardan yang kemudian beranjak dari sana.

"Emak!" panggil Ardan pada emaknya.

"Kenapa?" tanya emaknya.

"Nggak papa," jawabnya dan memeluk emaknya.

"Ihh, kamu mah ada-ada aja," ucap maknya ardan terkekeh. Sambil mengelus rambut Ardan.

"Mak!" panggilnya lagi.

"Hem?"

"Makasih udah jaga Ardan sampai sekarang," ucapnya tulus sambil menatap maknya.

Mak hanya tersenyum dan menangkap wajah anak nakalnya itu.

"Kamu ngeliat itu lagi, hem?" tanya Mak. Ardan menggangguk pelan.

"Kita nggak bisa ikut campur sama urusan mereka. Kita nggak ada hak. Yang perlu kamu lakukan sebagai seorang teman adalah menghibur dan selalu ada saat dia butuhkan," nasehat maknya.

RAKSAKA NAGANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang