- dua -

719 143 1
                                    

Sang mentari masih nampak malu-malu memperlihatkan rupanya, seperti masih asyik bersembunyi dipunggung awan, sang sahabat sejati. Sinarnya hanya sesekali mampu menerobos celah kecil benda uap itu untuk menyinari bumi, mereka masih sibuk berputar-putar mencari posisi apik untuk bertengger pada langit biru hari ini.

Bayang samar sebuah pohon besar memberi kesejukan pada seorang anak manusia yang sedang duduk bersandar di kursi taman kota. Ia tak sendiri, ada seekor anjing Chihuahua yang tengah ia elus di pangkuannya.

Lelaki berhelai hitam legam itu tertawa pelan kala dirasa teman kecilnya menggeliat seolah minta dilepaskan.

"Apakah kau ingin bermain, Kkami?"

Pertanyaan itu mendapat satu gonggongan kecil sebagai jawaban.

"Tapi kita tidak bisa bermain hari ini. Aku ada kelas 1 jam lagi, jadi kita harus pulang sekarang agar aku bisa bersiap untuk pergi ke kampus," ucapnya seolah meminta pengertian.

Dua gonggongan kini ia dapatkan.

Menganggap itu sebagai persetujuan, lelaki berkulit putih itu segera bangkit dari duduknya dan mulai berjalan meninggalkan taman. Niat awalnya ia pergi ke taman memang hanya untuk sekedar lari pagi sebelum memulai hari sebagai seorang mahasiswa.

Setelah beberapa menit berjalan, sampailah ia di sebuah rumah yang menjadi tempat tinggalnya. Rumah itu memiliki 2 lantai dengan halaman yang lumayan luas. Ada beberapa tanaman dan bunga yang sengaja di tanam untuk sekedar mempercantik pemandangan.

Seorang wanita paruh baya dengan setelan formal serta tas yang tersampir di bahu kanannya tiba-tiba muncul di balik pintu masuk dan berjalan dengan beberapa map di tangan.

"Hyunjinie, Ibu akan pulang terlambat karena harus menghadiri beberapa rapat dan pertemuan. Apakah tidak apa-apa kau makan malam sendirian, sayang?" Pertanyaan itu terucap dengan  lembut dan tulus. Ada penyesalan di iris teduh wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tidak lagi muda tersebut.

Sang anak -yang diketahui bernama Hyunjin- hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, Ibu. Aku janji tidak akan memasak yang berpotensi membakar dapur nanti," ucapnya yang mendapat kekehan dari sang Ibu.

"Pokoknya, Ibu sudah siapkan sarapan untukmu. Makanlah dulu sebelum berangkat ke kampus. Dan untuk makan malam, kau bisa pesan makan di luar. Oke? Jangan tunggu Ibu."

"Ayayay, Kapten." Hyunjin memberi hormat pada Ibunya yang kini tersenyum seraya mengacak rambutnya dengan lembut.

"Ibu berangkat, ya."

Hyunjin mengangguk dan mencium pipi Ibunya. "Hati-hati di jalan."

Wanita paruh baya itu balas mengangguk sebelum berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman.

Hyunjin tetap berada disana bahkan setelah mobil Ibunya hilang di tikungan. Setelah beberapa saat, barulah ia masuk ke rumah untuk sarapan dan bersiap-siap.

.
.
.

Hyunjin berangkat ke kampus menggunakan kendaraan umum. Subway selalu menjadi pilihan mahasiswa jurusan seni tersebut untuk mengantarnya pulang dan pergi kemana saja. Ibunya pernah berinisiatif membelikan Hyunjin sepeda motor untuk sekedar mempermudah dan mempercepat jika Hyunjin hendak pergi ke suatu tempat, namun lelaki bermata sipit itu menolak dengan alasan tidak mau menambah polusi dengan asap motornya.

Tentu saja itu bohong.

Hyunjin hanya tidak mau Ibunya mengeluarkan uang yang susah payah didapatnya untuk hal-hal yang tidak terlalu dibutuhkan Hyunjin. Sudah cukup Ibunya bekerja pagi, siang dan malam untuk kebutuhan mereka selama sepuluh tahun terakhir. Ia tidak mau menyusahkan atau menambah beban sang Ibu.

20 menit sebelum kelas dimulai, Hyunjin akhirnya tiba di kampus. Di tengah perjalanannya, ia bertemu dengan Kim Seungmin; teman se-fakultas dan se-pergaulannya.

"Selamat pagi," sapa Seungmin yang kini berjalan di samping Hyunjin.

"Selamat pagi."

"Kau sudah lihat mading, Hyunjin?"

Hyunjin menggeleng. "Belum. Memangnya kenapa?"

"Ayo. Kau akan tahu nanti."

Hyunjin membiarkan Seungmin membimbingnya menuju mading kampus tak jauh dari tempat mereka sebelumnya. Mereka harus menerobos kerumunan mahasiswa lain agar bisa mengetahui kabar apa yang membuat Seungmin begitu bersemangat.

Hyunjin membaca kata demi kata. Dan begitu selesai, barulah ia mengetahui bahwa satu Minggu dari sekarang akan diadakan kontes melukis. Barang siapa yang menang, maka lukisannya akan dipajang di museum serta berkesempatan untuk mengunjungi sebuah museum terkemuka di Amerika serikat.

"Sudah kuduga kau akan menyukainya." Seungmin berkata ketika manik jelaganya menangkap senyum senang di wajah Hyunjin. "Kau harus mengikutinya, sobat."

"Tapi aku tidak yakin bisa menang," ucap Hyunjin ragu.

"Belum dicoba, belum tahu." Seungmin menepuk bahu Hyunjin. "Lagipula sudah banyak karyamu yang ikut kontes dan selalu berakhir dengan kemenangan. Aku yakin yang ini juga sama."

"Darimana kau tahu?"

"Keyakinan, Hyunjin. Keyakinan."

Hanya itu jawaban Seungmin.

Hyunjin terdiam. Tatapannya tak lepas dari selebaran yang tertempel di papan pengumuman kampus tempatnya menuntut ilmu.

Jika menang, bisa pergi ke Amerika, ya?

Hyunjin selalu ingin kesana, tapi ia tidak memiliki alasan yang kuat untuk dikatakan pada Ibunya tanpa menimbulkan sedikitpun kecurigaan. Hyunjin tentu saja tahu bahwa Ayah dan saudaranya tinggal di Amerika. Ia bahkan sudah mengantongi alamat rumah mereka sejak lama. Tapi karena khawatir ibunya akan marah dan sedih, jadilah Hyunjin tidak pernah menyuarakan keinginannya untuk pergi. Hyunjin hanya berharap Sam baik-baik saja disana. Dan mungkin Ayahnya juga. Meski ia marah pada sang Ayah karena telah memisahkannya dengan Sam, tetap saja pria paruh baya itu adalah Ayah mereka.

10 tahun tanpa kabar tentu saja membuat Hyunjin merasa sangat kehilangan. Orangtua mereka benar-benar memutus akses apapun untuk tetap saling berhubungan. Hyunjin tidak tahu bagaimana penampilan Sam sekarang. Kecuali mungkin wajah mereka yang akan selalu identik dari waktu ke waktu.

Hyunjin tidak bisa untuk tidak bertanya-tanya.

Di universitas mana Sam kuliah?

Jurusan apa?

Apakah teman-temannya baik padanya seperti halnya Seungmin pada Hyunjin?

Dan yang terpenting, apakah Ayah mereka bersikap baik padanya? Mengingat sifat keras sang Ayah, Hyunjin berharap Ayahnya bisa sedikit berubah menjadi lebih lembut dan perhatian.

'puk'

Sebuah tepukan di bahu serta suara seseorang yang  memanggil namanya telah membuat Hyunjin tersadar dari lamunan.

"Kenapa melamun? Kelas kita akan segera dimulai. Ayo pergi," ajak Seungmin.

Hyunjin mengangguk dan mengikuti langkah temannya.

"Kurasa aku akan ikut kontes itu."

Sepertinya keputusan telah dibuat.

Mendengar kalimat Hyunjin, Seungmin lantas tersenyum dan mengatakan itu keputusan yang bagus seraya menepuk punggung Hyunjin di sela langkah mereka menuju kelas bersama.

〃゚Found You゚⁠〃
To be continued

〃゚Found You゚⁠〃To be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
FOUND YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang