Lidahku kelu. Kepalaku tak mampu mendongak. Jemariku tertaut gugup. Beruntung setelanku gamis panjang dan kerudung lebar. Jika tidak sudah kupastikan keringat ini akan terlihat oleh Andra yang berada di depanku.
Mbak Rahma juga kenapa lama sekali pergi ke toilet. Apa ia sengaja berlama-lama untuk membiarkanku dan Andra berduaan seperti ini? Seperti saat berada di api unggun dan ia sibuk mengurus pendaki yang kesurupan.
Firasatku benar. Mbak Rahma memiliki rencana tidak menyenangkan untuk tugas dadakanku. Yaa ... meski kuakui rencananya cukup cemerlang. Tetapi, kenapa harus Andra? Apa ia tidak memiliki rekan bisnis lain selain dia? Lagipula, bukankah Andra itu hanya sebagai karyawan di sini? Akan lebih baik jika Mbak Rahma berbicara langsung kepada pemiliknya. Tidak membuang waktu sampai membuat jantungku tidak terkontrol seperti ini.
"Diem-dieman aja."
Alhamdulillah. Napasku terhembus lega saat Mbak Rahma datang dan mendaratkan tubuhnya di sebelahku. Aku menatapnya sengit. "Lama banget, sih?"
"Diem." kata Mbak Rahma. Fokusnya kembali pada Andra. Sepertinya lelaki berkaus abu itu mulai bosan dengan kehadiran kami. Sejak kakiku dan Mbak Rahma menginjak di coffee shop tempatnya bekerja, kami sama-sama belum mengutarakan maksud dan tujuan. Sehingga, tebakanku Andra mulai jengah karena waktu kerjanya jadi terhambat.
"Sorry, ya, lama."
"Fine." Andra meletakkan ponselnya yang baru saja diutak-atik. "Jadi, apa yang bisa gue bantu?"
Mbak Rahma menatapku sebentar. Lalu berujar. "Jadi, gini, Ndra ...."
"Mbak,"
"Diem, Nara. Kamu mau tugasmu dapet nilai bagus nggak?"
Aku berdecak dan kembali memilin gamisku sendiri. Aku tidak muna. Dalam hati memang senang terhadap rencananya. Tetapi, bagaimana dengan kondisi jantungku? Jika Andra bersedia, peluangku akan terbuka sembilan puluh persen untuk berinteraksi dengannya setiap hari. Melihatnya beraktivitas, sembahyang, melayani pembeli, bahkan karakter Andra yang humble, pasti akan dengan mudah mengajakku mengobrol jika kami tidak sibuk. Aku takut kebohonganku terbongkar telah menyimpan perasaan padanya.
"Jadi, Nara itu kuliah?"
"Iya. Dan kemarin malem, baru banget kita nyampe rumah, dia dapet kabar, katanya ada tugas dadakan dari dosennya, suruh berwirausaha sesuai prodi masing-masing. Gue taulah dia itu paling anti banget soal bisnis-bisnis kayak begitu. Terus gue keinget lo. Kenapa nggak gue coba aja joinin bisnis antara kalian. Siapa tahu rezeki. Kebetulan Nara suka masak, dan kalau udah masak masakan Korea, beuh, rasanya bikin nagih."
"Mbak," Aku memperingati Mbak Rahma. Ekspresinya sudah seperti menahan lapar sepuluh hari. Aku takut jika hasil masakanku tidak sesuai dengan lidah Andra. Sebab, selera orang kan berbeda-beda. Enak menurut Mbak Rahma belum tentu cocok di lidah Andra.
"Ide bagus tuh. Kalau boleh tahu, memangnya Nara ambil apa? Nggak suka bisnis kok dapet tugas bisnis?"
Wajahku semakin memerah. Tatapan Andra mengarah padaku. Jari ini semakin tertaut gugup. Keringat dingin bermunculan lebih banyak. Karena tak kunjung menjawab, Mbak Rahma menyenggol lenganku.
"Nar, ditanya tuh. Kamu ambil prodi apa?"
Bagiku, Andra sudah seperti Tuan Dekan yang membuat jantungku berdegup tak keruan hanya dengan mendengar namanya. "Eum, a-aku ... ambil prodi BKK. Bahasa Kebudayaan Korea."
KAMU SEDANG MEMBACA
MIHRAB [AKAN TERBIT]
Romance[DIBACA UNTUK 18 TAHUN KE ATAS] Apabila yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi. Begitulah kata Ali bin Abi Thalib. Sebuah petuah yang masih kupegang hingga saat ini. Saat aku gagal memasuki universitas impianku, dan saat a...