...
Demikian surat pengunduran diri ini dibuat dengan sebenarnya. Atas perhatian Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih.
Jakarta, 21 Februari 2023
Kuhembus napas berat saat layar ponselku terpampang sederet tulisan baku. Masa libur kuliahku satu pekan lagi usai. Seharusnya aku sudah kembali ke Jogja dan membawa hasil laporanku terkait tugas wirausaha. Namun, yang kubuat sekarang malah surat pengunduran diri.
Aku tidak bisa melanjutkan lagi pendidikan di kampus itu karena beasiswaku sudah pasti dicabut. Perusahaan yang memberiku beasiswa mengharuskan ikatan dinas dengan salah satu syarat tidak boleh menikah sebelum ikatan dinas selesai.
Jika tanpa beasiswa, aku tidak tahu harus membiayai kuliahku dari hasil apa. Selain belum pernah berkecimpung di dunia bisnis, aku juga belum pernah memiliki pengalaman kerja sama sekali. Kalaupun harus bekerja, pasti upah yang kudapat tidak cukup untuk membiayai kuliahku. Apalagi kebutuhan sehari-hari yang setiap bulannya memiliki grafik tak menentu.
Kuputuskan untuk keluar dari kuliah dan fokus pada kehidupanku yang sekarang. Jika boleh jujur, hatiku berat melepas semua ini. Aku akan kehilangan teman-temanku dan cita-citaku yang sebentar lagi berhasil kugapai. Namun, kembali kuingat perkataan Mbak Shila. Ini semua telah menjadi takdir-Nya. Dan takdir-Nya pasti selalu yang terbaik. Aku hanya belum menemukan saja hikmah dibalik semua ini. Harus lebih bersabar dan ridho atas ketetapan-Nya.
Kusimpan surat tersebut ke dalam Word. Aku akan mencetaknya nanti. Tugasku selanjutnya adalah berpamitan pada Mas Andra bahwa aku akan ke Jogja untuk satu sampai dua hari, mengurus surat pengunduran diriku sekaligus mengemasi barang-barang yang masih berada di kost.
Sebenarnya aku ingin ke kedai untuk meminta izin langsung. Akan tetapi, aku takut bila Mas Andra tidak suka dan malah semakin meninggikan rasa bencinya. Lagipula, aku juga khawatir jika karyawan-karyawan Mas Andra berpikir aneh-aneh tentang kita. Mengapa aku masih mencari bosnya tersebut, padahal, kontrak kerja kami sudah tidak terjalin.
Pasalnya, dari sekian karyawan yang bekerja, tidak ada satupun yang diundang Mas Andra ke pernikahan kami. Sehingga, tidak ada yang mengetahui bahwa kami telah sah sebagai suami istri.
Langkahku berjalan mencari Mbak Shila. Tak apalah aku meminta izin saja melalui telepon. Yang penting rasa hormatku tetap ada menghargai ia sebagai suamiku. Mas Andra berhak tahu kemanapun aku pergi.
Feelingku menebak Mbak Shila berada di taman belakang. Namun ternyata salah. Dari posisiku menutup pintu saat ini, dapat kulihat Mbak Shila termenung di tepi kasurnya sambil membuka lembar demi lembar buku di atas pangkuan. Wajah Mbak Shila sendu. Akan tetapi, senyum tipis turut mengiringi bibirnya. Ada apa dengan Mbak Shila? Aku jadi sungkan hendak mengganggunya. Namun, jika tidak sekarang kapan lagi aku harus ke Jogja? Masa sewa kostku sisa sehari lagi. Aku harus cepat-cepat pergi atau memilih membayar sewa bulan berikutnya.
Perlahan kugerakkan kakiku mendekati kamar Mbak Shila. Semakin jelas kulihat wajahnya bersedih. Tebakanku Mbak Shila sedang melihat buku album.
Tok Tok Tok,
"Mbak Shila,"
Mbak Shila tersentak kecil. Tanda bahwa kesadarannya benar-benar diambil alih. Padahal, volume suaraku sudah kuatur sepelan mungkin.
"Maaf, Mbak. Aku menggangu."
"Enggak apa-apa. Sini, Nara. Masuk."
Aku ragu ketika Mbak Shila mengatakannya. Menurutku kamar adalah sesuatu yang privasi. Terlebih, aku dan dia memiliki satu suami yang sama. Privasinya pasti meningkat sepuluh kali lipat!
KAMU SEDANG MEMBACA
MIHRAB [AKAN TERBIT]
Romansa[DIBACA UNTUK 18 TAHUN KE ATAS] Apabila yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi. Begitulah kata Ali bin Abi Thalib. Sebuah petuah yang masih kupegang hingga saat ini. Saat aku gagal memasuki universitas impianku, dan saat a...