"Nara, Nara, tunggu, Nara,"
Sengaja kutulikan pendengaranku dari seruan Mbak Rahma berkali-kali. Aku terus mengemasi baju-bajuku secara asal ke dalam ransel. Sebelum Nenek dan Om Tara pulang dari pasar dan mendapatiku dalam keadaan kacau seperti ini.
"Tolong pamitin ke Nenek sama Om Tara. Aku nggak bisa lama-lama di sini."
"Nara, tungguin Mbak!"
Kuhempaskan kasar tangan Mbak Rahma yang mencekal pergelangan tanganku. Langkahku terus melaju. Napasku memburu. Sekuat tenaga pelupuk mataku menahan air mata supaya tidak mengalir.
"Nara!"
"Kenapa sih, Mbak?"
"Kamu yang kenapa!"
Mbak Rahma berhasil menghadangku dan berhasil pula membuat air mataku jatuh berderai-derai menatap rautnya yang khawatir. Aku tahu perubahan sikapku ini pasti membuat siapapun terheran-heran. Terutama Mbak Rahma.
"Kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita ke Mbak. Mbak ini kakak kamu. Saudara kamu. Mbak akan bantu apapun itu selagi Mbak bisa."
Aku menggeleng lirih. Saking tercabik-cabiknya perasanku, sampai tak bisa kukeluarkan suara isakan. Untuk kedua kalinya aku menghempaskan tangan Mbak Rahma yang menggenggam erat jari-jemariku. Ia menatapku nanar. Seolah tak percaya bahwa aku melakukan ini padanya.
"Aku nyesel udah ikut Mbak naik ke gunung. Aku nyesel udah kenalan sama temen-temennya Mbak yang katanya baik tapi ternyata berengsek! Aku nyesel udah ikutin kata-kata Mbak untuk kerjasama sama Andra. Aku nyesel, Mbak ...."
"Kamu dijahatin sama mereka ? Kamu dijahatin sama Andra? Ngomong, Nara! Siapa yang berani jahatin kamu?"
Kuusap kasar pipiku yang telah basah oleh air mata. "Mbak nggak bisa bantu aku. Maaf, aku pulang dulu. Assalamualaikum."
Kembali kulanjutkan langkah membelah jalanan. Mbak Rahma sudah tidak mengejarku. Namun, ketika kubelok ke persimpangan kulihat tatapannya pilu memandangiku. Hatiku sakit sekali. Sebenarnya aku ingin bercerita kepadanya. Tapi aku tak kuasa mendapat tatapan jijik. Aku tak mau mengecewakan Mbak Rahma dan membuatnya merasa bersalah karena telah memberiku rencana yang membuat hidupku hancur sejadi-jadinya.
Tujuanku saat ini adalah kembali ke Jogja. Aku tahu hal ini akan jadi pertanyaan mengapa tidak berpamitan. Tetapi demi apapun sungguh aku ingin sendiri. Aku ingin berpuasa kata dan tidak ingin berinteraksi dengan siapapun. Jika saja aku tidak memiliki kewajiban untuk mengemasi baju-bajuku yang berada di rumah Nenek, tentu aku akan langsung kembali ke Jogja tanpa mampir ke rumah yang sejak kepergian ibu menjadi tempat berteduhku. Dan tentu aku tidak akan bertemu dengan lelaki yang mulai detik ini sangat muak kutemui. Jangankan bertemu, mendengar namanya saja aku tidak sudi.
"Nara,"
"Masih berani nunjukin muka di depanku?"
"Nara, aku minta maaf. Aku bener-bener nggak ada niat untuk ...."
Plak!
Kulayangkan satu tamparan keras pada pipi mulusnya. Ia tertegun. Kepalanya sampai tertoleh ke samping.
"Nggak ada niat? Kamu udah setengah sadar dan tahu itu aku, tapi kamu tetep ngelakuin hal bejat itu. Aku bukan perempuan murahan seperti Shila yang kamu sebut-sebut itu."
"Jaga omongan kamu ya, Nar. Tahu apa kamu tentang Shila?"
Tatapan Andra berganti amarah saat kusebut nama Shila. Kualihkan pandanganku ke jalanan yang riuh dan ramai. Sebenarnya aku tidak tahu siapa perempuan itu. Dan tidak tahu apa yang terjadi pada Andra siang tadi. Yang kulihat hanyalah lelaki itu dikuasai kabut gairah dalam keadaan setengah sadar. Dan kebencianku terhadap Andra membuatku meng-klaim Shila sebagai perempuan murahan begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIHRAB [AKAN TERBIT]
Romansa[DIBACA UNTUK 18 TAHUN KE ATAS] Apabila yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi. Begitulah kata Ali bin Abi Thalib. Sebuah petuah yang masih kupegang hingga saat ini. Saat aku gagal memasuki universitas impianku, dan saat a...