15| Gara-Gara Tomyam 1

4.5K 228 0
                                    

Hujan mengguyur deras sejak siang hingga sore hari begini. Kami dikepung tidak bisa kemana-mana. Biasanya orang-orang banyak mengeluh dan tanpa tedeng aling-aling langsung mencaci salah satu rahmat Tuhan tersebut karena membuat aktivitas mereka terganggu. Aku pun pernah seperti itu. Namun sekarang rasa syukur justru kupanjatkan karena akibat hujan ini ide cemerlang terlintas di otakku. Aku ingin membuat pisang goreng sebagai camilan hangat-hangat.

Saat mengambil minum tadi, tak sengaja mataku menangkap seonggok pisang raja di meja dapur. Ada kisaran 12 buah. Kebetulan pisang goreng adalah salah satu makanan favoritku. Sebab, ada banyak keistimewaan yang dimilikinya. Selain rasanya yang memanjakan lidah, salah satu gorengan tersebut juga telah dinobatkan sebagai makanan penutup terenak dari 50 negara versi Taste Atlas. Sungguh keren, bukan? Aku bangga sekali menjadi penduduk dari asal makanannya. Dan sepertinya keputusanku sangat tepat membuat makanan itu di sore ini.

Bahan-bahan yang kubutuhkan tidak sulit dan tergolong mudah. Siapapun juga tahu untuk membuat makanan ini hanya memerlukan tepung terigu, buah pisang yang dibelah dua, gula, sedikit garam, air, dan tambahan bumbu lainnya seperti vanili supaya aromanya semakin kuat, nendang, harum, sekaligus menggiurkan.

Tanganku mulai beradu membuka kemasan tepung yang masih utuh. Akan tetapi, baru akan kutuang ke dalam wadah, Mbak Shila tiba-tiba datang dan menginterupsi. Sesuatu yang berhasil menjeda kegiatanku.

Kubalik badanku menghadapnya. Arah pandang wanita keturunan Arab itu tertuju pada jajaran bahan beserta peralatan yang sudah kusiapkan untuk menggoreng pisang.

"Mbak Shila?"

"Kamu buat apa, Nar?" Mbak Shila balas bertanya tanpa keinginan mengalihkan atensi.

Mataku ikut mengarah pada apa yang menjadi perhatiannya. Kemudian menatap wajahnya lagi. "Mau goreng pisang. Lumayan buat cemil-cemil. Nggak apa-apa kan, Mbak, pisangnya aku pakai?"

"Eum, nggak apa-apa, sih."

Alisku mengernyit. Wanita itu berucap tidak apa-apa, namun, ekspresinya kentara sekali menampakkan keraguan. Didukung nada kalimat beserta kepalanya yang sesekali menoleh ke belakang.

"Tapi lebih baik kamu ganti menu aja, deh. Bikin tomyam, misalnya?" sambung Mbak Shila.

Benar, kan? Pasti ada sesuatu.

Suaraku melembut. "Mbak Shila pengin makan tomyam?'

Sekali lagi kepala Mbak Shila menoleh ke belakang seperti memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mendengar percakapan kami. Matanya terpejam sejenak. Kemudian menghembus napas pelan. Mbak Shila menatapku memelas. "Bukan aku, Nar. Tapi Mas Andra. Kayaknya dia ngidam tomyam, deh."

Meski tak bersuara, demi apapun mataku membola. Mas Andra ngidam? Bukannya aku yang tengah berbadan dua?

"Dari tadi dia ngiggau pengin tomyam. Sementara aku nggak bisa masaknya. Kamu bisa kan, Nar, buatin? Kasihan nanti kalau baby-nya ileran."

Entah mengapa hatiku panas dingin. Antara berdegup bercampur dilema. Bukan karena otakku tidak mengetahui bumbunya. Tetapi, karena harap-harap cemas, kalau Mas Andra menolak masakanku bagaimana?

"Nar, kok diem, sih?"

"Aduh, Mbak. Kayaknya Mbak Shila aja deh yang buatin. Aku nggak yakin Mas Andra mau makan masakanku." Kejadian membuat sarapan kemarin masih berbekas di benakku. Saat Mas Andra melewati meja makan begitu saja yang telah tersaji beberapa racikanku. Lagipun, aku sudah berjanji padanya untuk tidak menggantikan peran Mbak Shila sekecil apapun.

"Percaya deh, Nar, kalau orang ngidam itu siapapun yang buat tetep di makan. Yang penting keinginannya terpenuhi. Lagian aku yakin kok kalau Mas Andra itu mau makan masakan kamu. Kan sekarang dia udah baik. Iya, kan?"

MIHRAB [AKAN TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang