16| Gara-Gara Tomyam 2

4.2K 237 0
                                    

Tak kusia-siakan kesempatan ini untuk membawa Mas Andra sesuai apa yang diperintahkannya. Adegan yang biasa kutonton di layar kaca kini kurasakan sendiri. Betapa beratnya memapah orang yang tidak sadarkan diri. Untung saja Mas Andra masih menyisakan sedikit kesadarannya. Sehingga, bebanku tidak terlalu berat. Meski begitu napasku tetap terengah-engah membawanya hingga ke depan kamar.

Kuketuk pintu bernuansa putih sebanyak tiga kali. Tak lama muncul sahutan dari dalam dan sudah pasti itu suara Mbak Shila. Segera kubuka pintunya setelah ia memberi akses masuk. Mataku menangkap di atas bed cover jemari lentiknya sedang merangkai sesuatu. Aku tidak tahu apa yang ditulisnya. Tetapi, melihat sampul bukunya yang tebal dan tak asing di berbagai toko buku, tebakanku mengarah pada buku harian.

Ekspresi Mbak Shila lebih dari sekadar terkejut. Bola matanya ingin keluar. Tanpa melanjutkan merangkai tinta, wanita itu menutup bukunya cepat serta menegakkan tubuhnya dari kepala ranjang. Mimik wajahnya berubah panik. "Astaghfirullah ... Mas Andra kenapa? Sini-sini dibaringin dulu. Mas Andra ...?"

Kubaringkan tubuh Mas Andra pada space yang dipersilakan olehnya. Begitu tubuh lelaki itu bersentuhan dengan bed cover, kesadarannya lenyap tanpa sisa. Kuraup oksigen sebanyak-banyaknya. Demi apapun tubuh Mas Andra berat sekali.

"Nara, Mas Andra kenapa ...? Kenapa bisa kayak gini ...?" Dengan risaunya yang kian menyergap, Mbak Shila menatapku menuntut penjelasan. Posisinya berada di sebelah kepala Mas Andra. Satu tangannya menyeka bulir-bulir keringat yang timbul di kening lelaki itu.

Kuberi penjelasan padanya setelah napasku kembali normal. "Mas Andra ... Mas Andra muntah-muntah, Mbak, setelah makan tomyam."

"Hah?!"

Tak mampu kujabarkan respons muka Mbak Shila tatkala mendengar penjelasan ringanku. Sebab mataku dibuat terpejam, bibirku meringis, dan telingaku mendengung begitu teriakannya menyapa udara.

Kubuka pelan-pelan dua mataku dan nampak gelagatnya seperti menahan kesal, marah, gemas, juga khawatir. Ketahuan sekali dari sorot matanya.

"Ya Allah, Mas Andraa ... nggak sekali dua kali pasti selalu kayak gini kalau habis masak sendiri! Bikin khawatir aja ...." Jemari lentiknya mengusap kasar air mata yang tumpah. Kemudian meraih cepat ponsel hitam di atas nakas. Mengutak-atiknya sebentar lalu ditempelkannya benda itu pada telinga. "Halo, Dokter?"

Kualihkan atensiku dari Mbak Shila kepada Mas Andra. Lamat-lamat, turut kudaratkan tubuhku di kasur empuk itu. Aku bukannya modus memandangi wajah tampannya. Tetapi wajah Mas Andra begitu pucat. Rasa kesalku mendadak hilang. Kalau boleh jujur, aku lebih baik melihat ekspresinya yang mendumel dan marah-marah saja seperti tadi. Daripada seperti ini, hatiku ikut perih.

Tak berselang lama, pintu bernuansa putih itu kembali diketuk. Atensiku dan Mbak Shila mengarah padanya. Ketika aku hendak bertanya siapa yang mengetuk, Mbak Shila lebih dulu berujar, "Silakan masuk, Dokter,"

Pertanyaan yang sudah kusiapkan kembali kutelan. Pintu terbuka dan muncul sosok wanita masih sangat muda bersetelan celana kulot abu, blouse, sepatu high heels, dan jas putih yang membentuk pundak lurusnya. Tubuhnya ramping, kulitnya putih bersih, senyumnya manis bak gulali. Rambutnya digelung rapi semacam pramugari dengan pernak-pernik yang tidak terlalu mentereng. Wanita itu berjalan anggun sembari menenteng tas kerjanya. Aku tebak ia merupakan dokter pribadi Mas Andra dan Mbak Shila. Dan tas kerja yang dibawanya itu pasti berisi alat-alat kesehatan.

"Bu Shila,"

"Dokter, Dokter, tolong suami saya, Dokter. Tadi dia habis makan tomyam terus pingsan ...."

"Tomyam?" Sang dokter mulai membuka tas kerjanya dan mengeluarkan alat-alat yang aku tidak tahu itu apa. Yang familiar di otakku hanya stetoskop serta pendeteksi tensi. "Apakah Pak Andra sebelumnya memiliki alergi?"

MIHRAB [AKAN TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang