20| Diary Nayshila; Dari Mas Andra, Untuk Nara

5.6K 277 16
                                    

Suatu hari nanti kepergian adalah sebuah keharusan. Jadikan kematian sebagai pengingat selama nafas masih terhembus. Tidak ada yang mampu menolak, berlari, atau melawannya.

Semua berkabung sendu. Kematian Mbak Shila menjadi berita yang enggan dipercayai oleh siapapun yang mendengar. Bunda, Ayah, Umma, Abi, Mbak Rahma, Oski, Mbak Fira, Nenek, Om Tara. Bahkan, aku dan Mas Andra sendiri yang menyaksikan bagaimana Mbak Shila menghabiskan sisa-sisa nafas terakhirnya. Dan Mas Andra sendiri yang menuntun melafazkan syahadat meski tidak sempurna.

Kami semua belum percaya jika Mbak Shila pergi secepat itu. Rasa-rasanya, baru kemarin aku bertemu dengannya. Wanita baik, cantik, anggun, salihah, telah berpulang kepada rumah yang sesungguhnya. Menyisakan kenangan dan kerinduan berlimbak-limbak.

Selepas dzuhur tadi pemakaman Mbak Shila selesai dilaksanakan. Dari mulai memandikan, mengkafani, menyolatkan, mengangkat keranda jenazah, sampai menerimanya di liang lahat dilakukan oleh Mas Andra.

Tak satupun laki-laki itu terlepas dari setiap kegiatan acara pemakaman ini. Meski banyak mengunci mulut, aku tahu perasaannya amat sangat rapuh.

Mas Andra hancur oleh kepergian sosok tercintanya. Separuh hatinya. Belahan jiwanya. Mata laki-laki itu merah sembab ditengah ramainya orang menyampaikan kalimat duka.

"Ayo, Nar, makan dulu. Kamu dari pagi belum makan, lho." kata Mbak Rahma yang tiba-tiba hadir membawa sepiring nasi dari arah dapur.

Aku mengabari kakak sepupuku itu sejak semalam. Dan pagi tadi dia sudah hadir membantu pemakaman setelah mendapat satu hari cuti dari kantornya.

"Nanti aja, Mbak. Aku belum laper."

"Nggak boleh gitu, dong. Mbak tau kamu sedih. Kamu kehilangan. Tapi, tetep harus perhatiin kesehatan. Apalagi kamu lagi hamil. Shila juga nggak bakalan seneng lihat kamu kayak gini. Makan, ya? Sedikit aja."

Bukannya menuruti perkataan Mbak Rahma, tangisku malah muncul sebab mengingat nama Mbak Shila. Akhirnya, Mbak Rahma berusaha lagi menenangkanku. Merengkuhku dengan dekapan hangat nan lembut.

"Udah. Nggak usah nangis lagi, ah. Ini bukan salah kamu. Jodoh, rezeki, ajal itu udah diatur sama yang di atas. Kita semua pasti kembali, Nara."

"Aku kangen sama Mbak Shila ... Mbak Shila lagi apa yah, Mbak, di sana ...?"

"Kalau kangen didoain. Bukan tangisin. Yang Shila butuhin sekarang cuma doa, dari kamu, Andra, Bunda, Ayah, sama yang lainnya. Jadi, stop kayak gini,"

"Mbak nggak suka kamu nyalahin diri sendiri."

"Kasihan janin yang ada di kandungan kamu, Nar. Dia ikut sedih kalau ibunya sedih. Apalagi perutmu masih kosong seharian ini. Dia pasti juga kelaperan."

Astaga, benar. Mengapa aku seegois ini? Ya Allah, Nak, maafkan Mama ....

Lambat-lambat, kutarik diriku dari rengkuhan Mbak Rahma. Kemudian menatap sepiring nasi yang tergeletak di atas karpet, tepat di depanku duduk.

Mbak Rahma lega sekali mendapati tanda-tandaku yang akan menyantap makanan itu. Demi calon buah hatiku, sepiring nasi berlauk daging tersebut akhirnya tandas menyapa perutku.

***

Waktu bergulir sesuai peredarannya. Matahari usai bekerja digantikan oleh sang rembulan. Mata ini masih enggan terpejam disaat waktu sudah menunjuk pukul sebelas malam.

Sudah tak terhitung seberapa banyak mulutku menguap. Mata memerah. Bahkan telah menyipit. Namun masih berusaha kukuatkan menunggu Mas Andra di ruang tamu. Semenjak tahlilan selesai, pria itu pergi tanpa mengabari. Aku sedari tadi sendiri.

MIHRAB [AKAN TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang