Setiap helai daun yang kutemui masih dibasahi embun pagi. Dinginnya udara tak membuat langkah ini berhenti. Aku terus berjalan menyusuri komplek perumahan Nusa Cemara Indah berdasarkan alamat yang Oski berikan beberapa saat lalu.
Sehari setelah hasil itu keluar, aku memutuskan pergi ke dokter kandungan supaya pemeriksaan lebih akurat. Namun, bukannya mendapat berita baik, pikiranku kian rapuh sedalam-dalamnya. Aku benar positif hamil dan usia kehamilanku sudah memasuki minggu kedua. Sang dokter tersenyum. Sementara balasanku seperti orang sakit jiwa. Ragaku ada, tetapi sukmaku melayang entah kemana.
Hari itu juga kutekadi pergi mencari Andra. Aku datang lagi ke ibukota menggunakan sisa uang yang kumiliki. Tempat pertama yang kukunjungi adalah kedai kopinya. Aku ingin meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuatnya padaku. Terlepas aku mencintainya atau tidak, ini bukan soal rasa. Bahkan sekalipun aku mencintainya, seluruh cinta itu telah sirna. Telah tergantikan oleh perasaan benci yang menggunung bersemayam di dalam dadaku.
Andra sudah menghancurkan hidupku dan ia wajib bertanggung jawab. Aku tidak ingin menanggung penderitaan ini sendirian. Usahaku mencarinya di kedai kopi tidak membuahkan hasil. Kata Oski, akhir-akhir ini bos mudanya tersebut jarang sekali pergi ke kedai. Saat kutanya, Oski sendiri pun juga tidak mengerti apa alasannya. Andra jarang terlihat, dan sekalinya terlihat pasti raut wajahnya sendu seperti sedang menanggung beban berat.
Oski turut menanyakan padaku mengapa aku tidak bekerja lagi di kedai milik Andra. Dan balasanku hanya seutas senyum tipis. Aku bukan penipu ulung. Tidak pandai membuat orang percaya dengan jawaban yang dibuat-buat.
Sebelum pergi, lelaki dua puluh satu tahun itu memberiku alamat rumah Andra, jika aku betul-betul membutuhkannya. Hingga berakhirlah aku di sini, Perumahan Nusa Cemara Indah yang memiliki bangunan megah setiap deretnya.
Aku sudah persis seperti gembel. Berjalan celingak-celinguk mencari rumah nomor 54. Orang-orang di komplek ini sedang berjemur di teras rumah mereka sembari menatapku aneh. Memangnya kenapa? Penampilan sepertiku tidak boleh berjalan di komplek mewah seperti ini? Golongan sosial sekali.
Arah pandangku tak berhenti menelisik. Hingga setelah berjalan kurang lebih sepuluh menit, kutemukan juga angka tersebut di halaman rumah. Sejenak aku terpana. Ini sungguhan rumah Andra? Mewah sekali. Modelnya klasik modern ala-ala rumah Belanda. Di halamannya terdapat taman luas yang dipenuhi bunga-bunga cantik berwarna-warni. Sepertinya orang tua Andra berprofesi sebagai pejabat negara atau tidak pengusaha sukses. Kakiku jadi gemetar ingin melangkah. Benar tidak ya keputusanku bertamu ke rumah ini? Atau aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri?
"Mbak?"
Lamunanku tersentak oleh sapaan berat dari belakang. "Eh, iya, Pak."
"Mbak cari siapa? Mas Andra, ya?"
Pemandangan di depanku sekarang adalah lelaki paruh baya dengan setelan biasa, kaus putih yang sedikit kotor dan celana pendek berbahan kanvas. Tangannya memegang gunting rumput berwarna hitam.
"I-Iya, saya mencari Kalandra. Betul ini rumahnya, Pak?"
"Oh, betul-betul. Ketuk aja, Mbak. Rumahnya memang kelihatan sepi. Tapi, biasanya ada di dalam. Mas Andra sama Mbak Shila memang jarang keluar rumah."
Mbak Shila? Mengapa pria tersebut menyebut nama Shila? Apa sebenarnya hubungan Andra dengan sosok Shila tersebut?
"Nah, itu, Mas Andranya keluar. Mas Andra!"
KAMU SEDANG MEMBACA
MIHRAB [AKAN TERBIT]
Romantizm[DIBACA UNTUK 18 TAHUN KE ATAS] Apabila yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi. Begitulah kata Ali bin Abi Thalib. Sebuah petuah yang masih kupegang hingga saat ini. Saat aku gagal memasuki universitas impianku, dan saat a...