Pukul 12 malam kami tiba di rumah. Pemandangan pertama yang kami lihat adalah Mbak Shila meringkuk di atas sofa tanpa selimut. Dua tangannya dijadikan bantal. Deru napasnya teratur, tertidur lelap sekali.
Meletakkan paper bag yang berisi oleh-olehnya secara asal, Mas Andra bergegas menghampiri Mbak Shila dan berlutut di depannya. Dirapikannya rambut wanita itu yang menutupi wajah.
"Shil ...." ujarnya lembut.
Bak alarm pemiliknya, Mbak Shila membuka mata perlahan. Senyum manis Mas Andra menjadi pemandangan pertama yang ia lihat.
"Mas Andra ...?" Ia mengumpulkan kesadaran. Bangkit perlahan dan Mas Andra sigap membantunya.
"Alhamdulillah, Mas Andra udah pulang," Baik Mas Andra ataupun aku sama-sama terkejut. Mbak Shila memeluk Mas Andra erat sekali. Disusul suara isakan yang lolos dari mulutnya.
"Hei ... Shila? Kamu kenapa? Kok nangis? Ada yang nyakitin kamu?"
"Tulang ekorku nyeri, Mass ... nyeri banget ...."
"Ya Allah ...."
Astaga, tak hanya Mas Andra yang terkejut. Aku pun turut membekap mulutku sendiri. Ada apa dengan Mbak Shila? Kalau sampai ia kenapa-kenapa, aku orang pertama yang patut disalahkan.
Mas Andra buru-buru melepas jaketnya dan melilitkannya di area pinggang Mbak Shila. Diikatnya jaket tersebut tidak terlalu kencang. Kemudian didekapnya wanita itu erat. Mas Andra menggendong Mbak Shila dan membawanya menuju kamar.
Begitu kamar tertutup, segera kakiku melangkah mengikuti mereka. Kubiarkan dulu dua koperku terletak di ruang tamu. Aku ingin tahu apa yang terjadi pada Mbak Shila. Perasanku harap-harap cemas. Aku khawatir terjadi apa-apa dengannya. Kudekatkan indera pendengaranku pada dinding pintu. Sayup-sayup kudengar percakapan mereka seperti berdebat. Mas Andra begitu khawatir.
"Aku kan udah bilang nggak usah nungguin aku. Kamu kalau kena udara malem pasti kayak begini. Kenapa juga nggak bawa selimut kalau mau tiduran di sofa? Tahan sebentar aku urutin."
"Tadi niatnya nggak tiduran di situ. Cuma ketiduran aja setelah Bunda pulang."
"Bunda udah pulang? Kok nggak ada ngabarin aku?"
"Tadi setelah isya' dijemput Ayah. Katanya besok pagi ada gathering di Singapore. Sebenernya Bunda udah minta sama Ayah untuk tetap di sini. Tapi aku nggak enak. Bunda udah seharian ini nungguin aku."
"Harusnya kamu ngabarin aku biar aku bisa buru-buru pulang. Bunda juga kenapa enggak ada telepon aku?"
"Aku yang nyuruh Bunda supaya nggak kasih tahu Mas Andra. Karena aku tahu Mas Andra pasti kayak begitu, buru-buru pulang. Sementara aku nggak tahu urusan Nara udah selesai apa belum. Kalau belum gimana?"
Ya Allah ... hatiku semakin tersayat mendengar pernyataan Mbak Shila. Sebegitu pedulinya ia padaku. Sebenarnya terbuat dari apa hati wanita itu ...? Mengapa begitu baik bahkan terlampau baik?
Aku tidak tahu bagaimana diri ini harus berterimakasih padanya. Apa yang Mbak Shila lakukan melebihi apapun. Ia rela mempertaruhkan nyawanya demi diriku yang baru beberapa hari ini dikenalnya. Bahkan telah menghancurkan rumah tangganya.
Apa tidak begitu egois bila aku tetap mengikuti perasaanku dan menyuruh Mas Andra membalasnya? Itu sama saja aku menghancurkan hati Mbak Shila. Cinta Mas Andra tidak boleh terbagi. Hanya Mbak Shila yang patut menjadi ratu di hatinya. Bukan orang lain. Apalagi diriku.
Perkataan Mas Andra benar. Seharusnya aku tidak menjadi orang ketiga di antara hubungannya dengan Mbak Shila. Aku harus mengikis perasaan ini sebelum bertambah semakin dalam. Karena sampai kapanpun tempat pulang Mas Andra hanya pada Mbak Shila. Aku tidak boleh mengganggu kebahagiaan mereka. Apalagi menggantikan perannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIHRAB [AKAN TERBIT]
Romance[DIBACA UNTUK 18 TAHUN KE ATAS] Apabila yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi. Begitulah kata Ali bin Abi Thalib. Sebuah petuah yang masih kupegang hingga saat ini. Saat aku gagal memasuki universitas impianku, dan saat a...