Ah, lega sekali rasanya bisa menikmati libur akhir semester tanpa dihantui oleh tugas-tugas yang menumpuk. Akhirnya, setelah sekian bulan diriku berkutat dengan kesibukan kuliah di Jogja, bisa juga kuinjakkan kaki di tanah ibukota ini. Tempat kelahiran dan kediaman nenekku yang sudah berbulan-bulan tidak aku jamah.
Kerinduanku terobati. Apalagi bisa menikmati lalu lalang kendaraan dan padatnya manusia yang masih saja riuh malam hari begini.
"Nara, ayo makan dulu! Nenek udah bikinin kamu nasi goreng, nih."
Nenekku merupakan salah satu penjual nasi goreng yang masuk ke dalam daftar pedagang kaki lima. Berusia enam puluh dua tahun dengan gaya rambut yang biasa digelung. Beliau memang sudah sepuh. Akan tetapi, gaya dan semangatnya melebihi anak muda jaman sekarang.
"Em, makasiiih, Nenek. Tapi Nara mau sholat dulu aja, deh. Mumpung masih sepi."
"Enggak makan dulu aja?" Om Tara menyahut. Anak bungsu dari nenekku sekaligus adik ibuku satu-satunya. "Nanti keburu dingin, lho."
"Nggak apa-apa. Yang penting jangan dimakan Om aja." candaku, membuat Om Tara mendengus.
"Iya udah sana. Hati-hati nyebrangnya." kata nenek bermaksud menengahi sebelum aku dan Om Tara adu mulut.
Aku memberi anggukan kecil. Kemudian menyebrang jalan menuju mihrab yang terletak di sebelah resto ayam goreng crispy. Aku memang sengaja untuk salat di awal waktu. Selain karena tidak baik menunda kebaikan, aku juga ingin salat sebelum mihrab ini ramai dipenuhi oleh lelaki yang juga ingin sembahyang. Wajar saja. Mushola kecil ini hanya ada satu buah. Dan sudah sepatutnya digunakan secara bergantian.
Setelah mengambil wudhu, buru-buru kulaksanakan salat isya' empat rakaat. Karena kebetulan aku tidak membawa mukena, jadi, kuputuskan saja untuk meminjam di dalam mihrab ini. Meskipun lalu lalang kendaraan terus beradu, akan tetapi, sama sekali tidak mengurangi kekhusyuanku dalam menghadap kepada-Nya.
Memasuki rakaat ketiga, kurasakan ada seseorang di barisan shafku. Bisa kupastikan orang itu adalah lelaki. Karena dapat terlihat dari sudut mataku celana jeans hitam panjang dipadukan dengan atasan kaus abu.
Hatiku tiba-tiba bergetar. Jantungku berdegup dua kali lipat dari sebelumnya. Bukan karena philopobia dengan lawan jenis. Tetapi karena aku bisa menebak siapa pria yang sedang mendirikan salat beberapa meter dari jarakku saat ini. Pria yang berhasil memporak-porandakan hatiku, yang mampu membuatku tidak absen menyebutnya di sepertiga malam. Meski belum kutahu namanya.
Bukan sekali dua kali aku menjadi saksi ia sembahyang di mihrab ini. Akan tetapi, untuk mengisi mihrab kecil hanya dengan dua orang, momen ini pertama kalinya. Meski kami terhalang jarak beberapa kotak, namun, tetap saja hatiku berdebar.
Tunggu-tunggu, mengapa aku jadi membahasnya di tengah-tengah ibadahku? Tidak-tidak. Aku tidak boleh hilang fokus. Segera saja kuselesaikan rakaat salatku yang tersisa satu kali lagi.
Aku berusaha khusyu kembali melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sampai tiba dirakaat terakhir, aku mengucapkan salam, berdzikir, dan memanjatkan doa beberapa saat. Setelah selesai segera kulepas mukena berwarna ungu yang melekat di tubuhku dan mengembalikannya ke tempat semula. Hatiku benar-benar sudah tidak bisa diajak kompromi.
Akan tetapi ... argh! Aku baru mengingat. Lokasi hook hanger tempat menggantung mukena ini berada persis di belakang laki-laki itu mendirikan salat. Aduh, bagaimana ini? Jantungku juga bukannya meredam malah semakin berpacu cepat. Aku yakin pasti saat ini raut wajahku sudah seperti siswa yang hendak ujian matematika tetapi tidak belajar sebelumnya. Panas dingin, gemetar, dan memerah.
Aduuh ... Nara!
Oke-oke. Tenang.
Kucoba menarik napas dalam-dalam supaya tenang. Perlahan-lahan, kuberanikan diri untuk melangkah. Aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini. Selain karena tubuhku gemetar, tidak nyaman juga rasanya berdua-duaan dengan lelaki yang bukan mahram. Meski ia merupakan pujaan hatiku, namun, akal sehatku masih berfungsi untuk mengingat segala larangan-Nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIHRAB [AKAN TERBIT]
Romance[DIBACA UNTUK 18 TAHUN KE ATAS] Apabila yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi. Begitulah kata Ali bin Abi Thalib. Sebuah petuah yang masih kupegang hingga saat ini. Saat aku gagal memasuki universitas impianku, dan saat a...