Assalamu'alaikum, Dearr ... gimana kabar kalian hari ini? Maaf bangett baru bisa kirim next part sekarang 😭🙏
Semoga kalian masih menanti, yaa
Ngomong-ngomong, minal aidzin wal faidzin, semuanyaa ... selamat hari raya Idul Fitri (walaupun udah telat) buat siapapun yang merayakan ♥️
Readers : THR-nya mana, Mei?
;)
***
Keringat dingin runtuh dari balik khimarku. Batinku tak berhenti berdzikir mendoakan keselamatan Mbak Shila. Begitu taksi yang kutumpangi berhenti segera kurogoh beberapa uang sesuai tarif yang tertera. Kuserahkan pada sang supir.
"Ini, Pak. Terima kasih."
"Sama-sama, Mbak."
Hujan masih mengguyur. Telapak tanganku kugunakan memayungi kepala. Kemudian, kuterjang jalanan menuju pelataran rumah sakit.
Hampir saja aku tergelincir akibat jalanan licin tergenang air. Begitu sampai di pelataran, segera aku menuju resepsionis dan menanyakan pasien bernama Nayshila Qatrunada. Petugas yang kutanyai mengatakan bahwa pasien Nayshila Qatrunada dilarikan ke IGD. Secepat mungkin langkahku menyusuri lorong setelah petugas tersebut memberi petunjuk.
Dari kejauhan nampak Mas Andra duduk di kursi tunggu sambil menutupi wajahnya menggunakan telapak tangan. Bahkan dari posisiku sekarang mampu kurasakan bagaimana rapuhnya laki-laki itu mendapati keadaan Mbak Shila.
Langkahku mendadak memberat. Air mata menetes tanpa diminta. Kupaksakan kaki ini supaya beranjak. Begitu tiba, Mas Andra mendongak. Mungkin merasakan kehadiran seseorang. Akan tetapi, saat netranya mendapati seseorang itu merupakan diriku, tubuhnya segera bangkit menjauh memberi jarak.
Mas Andra berdiri melipat tangannya, serta punggungnya ditempelkan pada dinding bersebrangan dariku. Matanya terpejam lelah. Kepalanya menempel, menggambarkan isi pikirannya yang berkecamuk.
Rasa bersalahku semakin besar. Lambat-lambat aku menunduk dan air mataku luruh kian deras. Kemudian, kurasakan sentuhan halus di pundakku berasal dari arah belakang.
"Bunda ...?"
"Narr ...."
Bunda Cintya datang dengan senyum teduhnya. Namun, aku tahu dibalik keteduhan itu tersirat perasaan yang tak kalah menegangkan. Apa Bunda sudah tahu? Tangannya menenteng paper bag coklat berisi botol air mineral dan makanan dalam Tupperware. Sorot mata beliau berkaca-kaca.
"Maafin Nara, Bunda ...." Tanpa aba-aba, kuterjang wanita paruh baya itu secepat kilat. Tangisku hancur. Tangan Bunda semakin bekerja mengusap punggungku memberi ketenangan. Dapat kurasakan bahwa beliau turut menahan tangisnya.
"Sudah, Sayang, sudah. Ini semua kehendak Allah. Kita berdoa aja, yah, supaya Shila enggak kenapa-kenapa,"
Aku terisak tak henti-hentinya. Dalam dekapan Bunda kusempatkan melirik Mas Andra yang masih setia pada posisinya. Mata pria itu juga masih dalam keadaan yang sama. Detik berikutnya, setetes air mata tumpah.
Saat itu pula,
Jantungku seperti berhenti berdetak.
***
Ketegangan semakin mendominasi. Terlebih ketika orang tua Mbak Shila, Umma Lathifa dan Abi Ubaidillah, mendarat dari kediaman mereka, Mesir. Tiada yang bersuara. Semua dari kami diam menunduk di kursi tunggu. Aku yakin walau mulut terkunci, namun, batin mereka terus bertasbih mendoakan keselamatan Mbak Shila. Aku pun juga tak lepas dari menyebut asma-Nya. Tubuhku terus gemetar. Keringat dingin belum jengahnya membasahi kepalaku dari balik khimar. Tiba-tiba, pintu IGD terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIHRAB [AKAN TERBIT]
Romansa[DIBACA UNTUK 18 TAHUN KE ATAS] Apabila yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi. Begitulah kata Ali bin Abi Thalib. Sebuah petuah yang masih kupegang hingga saat ini. Saat aku gagal memasuki universitas impianku, dan saat a...