Dear, ❤️
***
Batas maksimum menunggu pasien di rumah sakit ini hanya dua orang. Sehingga, selepas salat isya' tadi Umma Lathifa, Abi Ubaidillah, dan Bunda Cintya terpaksa pergi meninggalkan kami, aku dan Mas Andra, di ruang ICU menunggu Mbak Shila sampai siuman.
Sebenarnya, Umma Lathifa keukeuh ingin menunggu sang puteri sampai tersadar. Akan tetapi, tanggung jawab atas puterinya sudah beralih kepada Mas Andra. Sehingga sangat tidak etis bila hal itu dilakukan oleh beliau.
Waktu terus berputar. Dan sekarang sudah merujuk pada pukul dua malam. Wajahku masih setengah basah akibat wudhu yang baru saja kulakukan.
Kulihat Mas Andra tertidur di kursi tunggu dengan posisi duduk bersandar sambil melipat tangannya. Jaket yang tadi dikenakannya sudah dilepas dan diletakkan persis di sebelahnya.
Wajah suamiku terlihat damai nan teduh sekali. Berbeda dengan ketika ia memandangku yang selalu penuh kebencian, kemarahan, dan tatapan nyalang berapi-api. Mungkin tidak ya keteduhan itu akan ditujukan untukku suatu hari nanti? Minimal, untuk buah hatiku yang sudah pasti akan memerlukan peran ayahnya. Peran Mas Andra. Aku harap perkataannya siang tadi hanya sebatas kabut emosi.
Sudut bibirku terangkat saat kuusap perut rataku yang mulai membuncit. Langkahku bergerak menuju ruangan Mbak Shila tepat di sebelah kursi yang diduduki Mas Andra. Ruang ICU.
Ketika akan mengenakan pakaian khusus, kepalaku menoleh padanya. Ada sedikit perasaan kasihan melihatnya tidur dengan posisi seperti itu. Pasti kedinginan dan tentu tidak nyaman.
Perasaanku bimbang. Kemudian, melihatnya sekali lagi, dan kali ini perasaan kasihan itu semakin besar. Kuputuskan perlahan mendekatinya. Hati-hati sekali. Aura Mas Andra yang
berapi-api masih membayangiku.Supaya tidak menimbulkan suara, lambat-lambat, kuambil jaket yang diletakkannya di sebelah posisi duduknya. Kemudian, kuselimuti setengah tubuhnya menggunakan jaket parasut itu.
Mas Andra menggeliat kecil, sesuatu yang membuatku harap-harap cemas. Namun, akhirnya Mas Andra kembali tenang. Kusambung niat awalku untuk mengunjungi ruangan Mbak Shila.
***
Ruangan serba putih, didominasi berbagai kabel, alat pendeteksi detak jantung, juga beberapa pelengkap medis lainnya menyambut indera penglihatanku. Atensiku terarah pada seorang wanita yang tengah terkulai lemah di atas brankar nyaris seperti tak bernyawa. Hatiku teriris melihat kondisi Mbak Shila bak mayat hidup. Untuk pernapasan pun Mbak Shila memerlukan alat bantu.
Kualihkan sejenak pandanganku supaya air mata ini tidak menetes. Aku tidak boleh lemah. Bagaimana aku bisa menguatkannya bila aku sendiri menangis seperti ini?
Kutarik napas dalam dan kuhembus perlahan. Langkahku kembali melaju hingga kini posisiku berada di sebelahnya. Senyum miris terbit tanpa kuminta. Walau pucat, Mbak Shila nampak cantik sekali. Bisa kukatakan ia lebih terlihat seperti puteri tidur.
Aku duduk pada kursi yang disediakan di sana. Kugenggam tangan wanita cantik itu yang tidak tertusuk jarum infus. Kucium beberapa saat.
"Mbak ...."
"Ini Nara, Mbak,"
"Mbak Shila kenapa belum bangun ...?"
"Aku di sini nungguin Mbak."
"Mas Andra juga,"
Sekuat mungkin aku berusaha untuk tidak menangis, namun, bulir permata itu runtuh juga. Meski begitu, senyum bahagia tetap kupaksa supaya muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIHRAB [AKAN TERBIT]
Romantizm[DIBACA UNTUK 18 TAHUN KE ATAS] Apabila yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi. Begitulah kata Ali bin Abi Thalib. Sebuah petuah yang masih kupegang hingga saat ini. Saat aku gagal memasuki universitas impianku, dan saat a...