Semenjak kejadian itu Mbak Shila membatasi interaksinya denganku. Sesekali suaranya keluar. Namun kerapnya hanya tersenyum menyapa kemudian berlalu begitu saja.
Lagi-lagi pil pahit harus kutelan. Ketika Mas Andra berusaha baik, Mbak Shila justru berganti membuatku tidak enak hati berada di rumah ini. Namun aku tahu apa yang dia lakukan merupakan respons yang wajar. Masih mending ia tidak mengusirku pergi dari rumah ini.
Semenjak kejadian itu pula Mbak Shila meminta Mas Andra supaya menemani terapi berjalan lagi. Aku dengar-dengar, setahun yang lalu wanita keturunan Arab itu pernah mengikuti terapi bersama dokter dibidangnya. Namun harus terjeda tatkala Mas Andra sibuk mengurus kedai barunya di Simpang Lima.
Aku tidak tahu Mbak Shila masih berminat mengikuti terapi itu karena berasal dari hati nuraninya atau karena hal lain. Tentu kalian bisa menebak hal lain apa yang kumaksud.
"Mas Andra tambah sayur, yah? Itu aku lho yang tumis kangkungnya."
Mas Andra ragu. Kami bertiga bisa melihat kangkung di piringnya masih setengah banyak. Akan tetapi, balasannya tetap, "Boleh." Mungkin ia tidak enak hati dengan Mbak Shila.
Mbak Shila terlihat senang. Kemudian dengan semangat menciduk lagi sayur kangkung besutannya ke piring Mas Andra. "Dihabisin pokoknya."
"Makasih, Sayang."
"Sama-sama." Mbak Shila nyengir.
Mas Andra sudah mengizinkanku makan bertiga di meja makan. Namun yang kurasakan atmosfer kaku, bukan menyenangkan apalagi candaan.
Tiba-tiba, dering ponsel berbunyi. Itu jelas bukan milikku karena ponselku kuletakkan di kamar. Mbak Shila pun sepertinya juga tidak membawa benda pipih. Setelah ditelaah ternyata milik Mas Andra.
Mas Andra mengeluarkan ponselnya dari balik saku. Mengutak-atiknya sebentar lalu ditempelkan di telinga.
"Halo?"
"Tidak apa. Kenapa, Dokter?"
Atensiku dan Mbak Shila menatap seluruhnya kepada Mas Andra begitu lelaki itu menyebut kata dokter.
"Memangnya tidak bisa dicancel? Istri saya sudah semangat sekali untuk terapi. Ya ... dua atau tiga puluh menit, mungkin? Sebentar saja."
Ekspresi Mas Andra seperti menimang-nimang apa yang lawan bicaranya utarakan. "Hm, begitu. Baik, tidak apa. Tapi nanti diganti lain hari, ya. Tolong profesional. Saya sudah mengkhususkan tim medis Dokter untuk istri saya."
"Ya. Selamat pagi."
Kembali kulanjutkan makanku begitu Mas Andra mematikan sambungannya. Seolah-olah tidak mendengar apa-apa. Arah pandang pria itu terarah kepada Mbak Shila yang berada di sebelahnya. Akan tetapi sebelum suaranya keluar, Mbak Shila lebih dulu bertanya.
"Kenapa, Mas?"
"Hari ini dokternya nggak bisa ke sini. Dia lupa, taruh jadwal operasi barengan sama jadwal terapimu."
"Yahh ...." Mbak Shila cukup kecewa. Namun secepat mungkin Mas Andra merengkuhnya ke pelukan.
"Nggak apa-apa. Nanti insya Allah di ganti hari lain kok. Kamu juga harus banyak-banyak istirahat. Nggak boleh diforsir terus terapi. Ya sayang?"
"Berarti Mas Andra nanti ke kedai?"
"Yaa ... kalau kamu libur terapi, aku ke kedai. Kenapa? Mau ikut?"
"Eum ... enggak deh. Enakan di rumah."
"Yakin? Nanti rindu gimana?"
Mbak Shila memelotot. Lalu mencubit pinggang Mas Andra gemas. "Ih! Sejak kapan pandai ngegombal?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MIHRAB [AKAN TERBIT]
Romance[DIBACA UNTUK 18 TAHUN KE ATAS] Apabila yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi. Begitulah kata Ali bin Abi Thalib. Sebuah petuah yang masih kupegang hingga saat ini. Saat aku gagal memasuki universitas impianku, dan saat a...