Wahai Sang Maha Pemilik Cinta. Jika memang dia baik untukku, dan Engkau ridho kepadanya, maka persatukanlah kami dengan cara yang Engkau sukai - Kinara Almadania
***
Aku menyesal dulu tidak memerhatikan guru olahragaku saat menjelaskan materi pernapasan. Ternyata, aku membutuhkannya sekarang. Jalan dari Pondok Mata Air menuju puncak Slamet lebih mengerikan dari track sebelumya. Curam, menanjak, dan penuh akar-akar besar. Napasku ngos-ngosan. Keringat mengucur deras dari balik khimarku yang lebar. Ini saja beban sudah berkurang, tidak membawa keril. Namun, rasanya masih begitu berat.
"Yok, semangat temen-temen! Dikit lagi puncak!" seru Bang Faldi sebagai leader. Padahal, aku tahu dari rautnya beliau tak kalah penat.
Setelah salat subuh tadi kami bergegas summit supaya dapat menikmati sunrise di puncak Slamet. Beberapa pendaki memang masih ada yang menetap di tenda. Namun, tak sedikit pula yang turut menanjak bersama rombonganku dan Mbak Rahma.
Posisi kami sekarang, Bang Faldi memimpin jalan, di sambung Mbak Rahma, lalu aku, Mbak Gita, Kak Riskay, dan terakhir Andra sebagai sweeper berada di paling belakang. Kami berjalan menggunakan tracking pol. Perbekalan untuk camilan dikumpulkan menjadi satu pada backpack hitam yang dibawa bergilir oleh para lelaki. Kali ini Kak Riskay yang mendapat jatah.
"Aman nggak semuanya?"
"Aman-aman!"
"Nara?"
"Aman, Bang!" teriakku. Walau kenyataannya kakiku sudah seperti mati rasa.
"Biar bisa masuk komunitas kita, Nar. Harus semangat." celetuk Kak Riskay.
Aku tertawa pelan. "Siap, Kak."
Dari awal menanjak Kak Riskay lah yang paling sering bercanda. Ada saja tingkahnya yang membuat kami terpingkal. Sehingga perjalanan yang seharusnya melelahkan malah dominan friendly.
Bang Faldi sebagai leader sudah mewanti-wanti berulang kali, bahwa dalam kelompok ini tidak boleh ada yang bersikap egois, apalagi sok kuat. Jika merasa lelah, siapapun itu, wajib memberi instruksi maka kami semua akan ikut beristirahat. Menutupi lelahnya tubuh saat mendaki bukanlah sikap pendaki sejati.
Ayo, Nara. Semangat!
Sedikit lagi gunung tertinggi di Jawa Tengah berhasil kamu tapaki.
Semangatku berapi-api. Tak kupedulikan derasnya keringat yang semakin membasahi tubuhku. Ini pendakian pertama. Aku tidak ingin gagal.
"Semangat, Nar!"
"Semangat juga, Mbak Rahma!"
Aku dan Mbak Rahma tertawa. Langkah kami kian mendekat.
Hosh ... Hosh ....
Sedikit lagi. Sisa beberapa detik.
Lima, empat, tiga, dua, satu!
"ARGHH!! AKHIRNYAAA!"
Teriakan Kak Riskay menyapa seluruh pendaki yang tiba duluan. Kami berenam luruh sejadi-jadinya. Aku menangis lalu bersujud di tanah negeri tercinta ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIHRAB [AKAN TERBIT]
Romance[DIBACA UNTUK 18 TAHUN KE ATAS] Apabila yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi. Begitulah kata Ali bin Abi Thalib. Sebuah petuah yang masih kupegang hingga saat ini. Saat aku gagal memasuki universitas impianku, dan saat a...