09| Garis Takdir-Nya

5.6K 281 3
                                    

Mataku berkedip menyesuaikan cahaya yang masuk. Pelan-pelan kesadaranku kembali. Kuraba sesuatu di atas nakas untuk mencari ponselku. Masih dengan posisi berbaring, kulihat jam pada benda pipih itu dan ... betapa terkejutnya ketika aku menyadari sudah pukul tujuh pagi!

"Astaghfirullahaladzim ...."

Mataku terbelalak. Reflek, bangkit dan menyingkap selimutku secepat mungkin. Aku belum salat subuh. Segera aku berlari menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Sempat kulirik ke arah karpet berbulu di sebelah kiriku. Sudah tidak ada Mas Andra di sana. Kapan ia keluar? Mengapa tidak membangunkanku? Astaga ... sebenci itukah Mas Andra padaku sehingga membiarkanku melewatkan salah satu kewajiban ini?

Kubalut cepat tubuhku dengan mukena. Buru-buru kulaksanakan salat dua rakaat. Aku tetap ingin khusyu' meski waktu subuh telah terlewat.

***

Malu sekali rasanya bangun kesiangan disaat aku pertama kali menjadi seorang istri sekaligus pertama kali tidur di rumah Mas Andra. Padahal, tidurku semalam tidak terlalu larut. Bahkan, yang biasanya aku tidur lebih dari jam delapan malam, aku mampu-mampu saja bangun subuh. Sekalipun tanpa alarm. Apa karena berbaring di bed cover yang empuk sehingga tidurku terlampau nyenyak? Jika memang iya, sungguhan aku tidak mau lagi menggunakan benda itu.

Lebih baik aku tidur saja di tikar atau kasur busa yang biasa kugunakan. Daripada berbaring di kasur empuk seperti itu namun subuhku malah terlewat. Selain malu kepada Mas Andra, aku turut malu kepada Allah. Telah mengabaikan seruannya bagaikan insan tak memiliki dosa.

Kruyuk ... kruyuk ... Kruyuk ....

Damn!

Lengkap sudah penderitaanku. Setelah bangun kesiangan, lalu aku mau makan begitu saja? Perutku lapar sekali ... sejak tiba di rumah ini sama sekali belum terisi apapun. Ingin minum saja tidak jadi karena melihat aura Mas Andra yang dingin. Bagaimana mau menyantap nasi?

Kurasakan rumah ini hening seperti tak berpenghuni. Kemana Mas Andra dan Mbak Shila? Aku melangkah menuju dapur dan berharap ada bahan makanan sehingga aku bisa mengolahnya. Tidak apalah. Minimal aku ada usaha untuk mengisi perut. Tidak langsung makan bak tuan puteri yang dilayani oleh raja dan ratunya.

Perjalanan menuju dapur harus melewati ruang makan. Dan saat aku melewatinya, ternyata, mereka di sini. Mbak Shila dan Mas Andra. Tanpa sadar langkahku terhenti. Mataku mengamati mereka yang sedang menikmati makan pagi sambil bercanda. Duduk berdampingan, satu piring berdua, suap-suapan pula. Sempurna sekali.

Allah memang adil. Secara fisik Dia memberiku lebih sempurna dari Mbak Shila. Tetapi, perihal perasaan wanita itu juaranya. Tubuhnya yang lumpuh saja mampu membuat Mas Andra jatuh cinta. Bagaimana kalau ia bisa berjalan?

Mungkin ini yang dikatakan ujian sesuai kemampuan masing-masing. Allah memberi ujian Mbak Shila secara fisik, sementara aku secara batin. Dan semua sudah diatur sesuai porsinya tanpa ada yang dilebih-lebihkan.

Lagi, dan lagi aku tidak boleh sedih. Tujuanku adalah mengharap ridho-Nya dan harus tetap berbakti kepada Mas Andra terlepas bagaimana ia memperlakukanku.

Kulanjutkan langkah lagi menuju dapur. Aku hampir lupa dengan niatku yang ingin membuat sarapan. Akan tetapi, baru akan beranjak suara Mbak Shila membuatku tertoleh lagi.

"Nara, sini!"

Aduh, aku ketahuan. Mau tidak mau, senyum canggungku tercipta. Langkahku bergerak pelan ke arah mereka.

MIHRAB [AKAN TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang