Cuaca siang ini cerah sekali. Secerah hatiku memandang kagum Gunung Slamet. Mataku tak henti-hentinya teralih dari pepohonan lebat, kicauan burung yang riuh, dan gemercik air dari sungai sumber kehidupan warga. Berkali-kali batinku bertasbih menyebut keagungan asma-Nya. Baru satu ciptaan saja sudah membuatku lupa bahwa punggungku sedang memikul keril berat. Bagaimana jika nanti di surga? Ah, aku tak ingin menghayal lebih.
Kulihat Mbak Rahma berjalan menghampiriku dari arah bawah. Jalan dari arah perkampungan warga menuju lokasi pembelian tiket yang berada di dekatku saat ini memang menanjak. Jadi, harus membutuhkan tenaga ekstra. Tetapi untuk sekelas Mbak Rahma sepertinya tidak masalah. Terbukti dengan langkahnya yang santai hingga tiba di hadapanku. Senyumnya setia mengembang.
"Aduh, capek banget, Nar."
"Minum dulu, Mbak."
Kusodorkan sebotol air mineral yang masih tersegel rapat. Mbak Rahma menerimanya. Kemudian menenggaknya sampai tenggorokannya tidak terasa kering. Beberapa menit lalu Mbak Rahma izin kepadaku untuk membeli logistik yang kurang. Karena ternyata estimasi kita yang berencana akan berangkat pagi molor sampai siang hari begini. Menunggu beberapa teman yang belum datang sebab ada urusan mendadak.
"Ma, jadinya KTP lo nih yang buat jaminan. Riskay nggak dateng-dateng."
"Iya udah nggak apa-apa. Mereka sampe mana?"
"Katanya baru nyewa Jeep."
Itu adalah Bang Faldi. Ketua kelompok pada pendakian kali ini. Satu komunitas juga dengan Mbak Rahma. Aku baru dikenalkan dengannya sebelum salat dzuhur tadi. Karena ketua kelompok, jadi, Bang Faldi yang melakukan simaksi. Kata Mbak Rahma, simaksi merupakan proses registrasi atau semacam pendaftaran sebelum kami melakukan pendakian. Sehingga, pihak loket memiliki daftar siapa saja yang menaiki gunung jika sewaktu-waktu terjadi hal yang tidak diinginkan. Dalam proses simaksi juga dijelaskan bagaimana medan pendakian yang hendak didaki. Juga larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan selama di gunung.
"Lah, itu mereka dateng."
Aku ikut menoleh saat Bang Faldi menunjuk dengan dagunya beberapa orang yang baru saja turun dari Jeep hitam dengan menopang keril yang tak kalah berat.
"Weish, Bro! Buset lama bener lo pada."
Ketika Mbak Rahma dan Bang Faldi asyik bertos ria dengan mereka, aku justru tercengang. Jantungku seolah berhenti berdetak. Mataku tak berkedip memastikan bahwa satu orang yang kulihat saat ini bukanlah orang yang sama. Akan tetapi, semua itu dipatahkan ketika ....
"Lho, ini ... Mbaknya yang kemarin, kan? Yang cincinnya jatuh?"
Kalimat keramat itu terlontar dari mulutnya! Aku tidak mengerti harus bereaksi apa. Tubuhku gemetar. Jantungku berpacu cepat. Buru-buru kualihkan pandanganku ke bawah.
"Kalian ... udah saling kenal?" Mbak Rahma tampak bingung. Namun, nada suaranya menggambarkan sekali bahwa ia berharap balasan 'Ya'.
"Kemarin sempet ketemu di mihrab. Waktu salat isya'."
"Ah, iya-iya." Dapat kurasakan lengan Mbak Rahma menyenggol tanganku tanda menggoda. Senyum simpulnya terbit. Aku membalasnya dengan tatapan sengit dan dengusan singkat. Apa, sih! Batinku malu-malu. Walau sebenarnya aku sangat ingin berteriak dan berterima kasih padanya karena telah mengajakku naik gunung.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIHRAB [AKAN TERBIT]
Romansa[DIBACA UNTUK 18 TAHUN KE ATAS] Apabila yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi. Begitulah kata Ali bin Abi Thalib. Sebuah petuah yang masih kupegang hingga saat ini. Saat aku gagal memasuki universitas impianku, dan saat a...