09 || Orang yang paling bahagia

712 190 128
                                    



Shian keluar dari kamarnya saat mendengar Shaka telah tiba di rumah, ia pun beralih membuka pintu kamar Shaka yang berada di samping kamarnya, terlihat Shaka yang tengah melepas kaus kakinya sambil duduk di tepi ranjang.

"Shaka.."

"Hm?"

"Minta maaf sama Zear."

Shaka menoleh dan menatap Shian dengan tajam, "kenapa lo mulai luluh sama Zear?"

"Gue cape sedih terus, Ka. Jalan satu-satunya biar gue bisa lupain kesedihan gue cuma berdamai sama Zearka, gue pengen kita kayak dulu lagi, karena sekarang yang gue punya cuma lo dan Zearka," sahut Shian dengan suara pelan.

"Gila."

"Gila?"

"Hm, orang waras mana yang mau berdamai sama pembunuh orang tua dan adiknya? Lo udah gila."

"Shaka, jangan ngomong kayak gitu lagi, Zearka bukan pembunuh, kalau gue jahatin Zearka, gue malah makin sakit," ucap Shian dengan suara lirih di akhir kalimat, membuat Shaka terdiam sejenak.

Shaka menatap mata Shian yang terlihat sendu, namun pagi ini ia sempat melihat senyuman manis Shian hanya karena kembali berdamai dengan Zearka.

Kenapa hanya Zearka yang mampu menyembuhkan luka Shian? Kenapa bukan dirinya yang sebagai saudara kembar? Kenapa harus selalu Zearka?

"Gue tau ini berat buat kita, tapi kalau kita saling benci terus masalah gak akan selesai," ujar Shian lagi.

"Gue gak peduli soal itu, yang melekat di otak gue sampe detik ini Zearka penyebab kepergian mama, papa, dan Sean, kehadiran dia ngerenggut kebahagiaan kita, gue harus balas semuanya lebih sakit dari yang gue rasain."

"Tapi Zearka gak bersalah, semuanya udah takdir."

"Gue tau ini takdir, tapi tetap aja Zearka penyebabnya, hati gue sakit liat lo nerima Zearka lagi, lo lebih mentingin perasaan lo ke Zearka tanpa mikirin keluarga kita yang udah gak ada karena ulah dia."

Shian terdiam, ia mengerti dengan maksud Shaka, hanya saja ia berusaha untuk menerima Zearka lagi agar tidak ada yang pergi lagi dari hidupnya, sebab kini ia sadar bahwa kehadiran Zearka juga berharga untuknya.

"Gue gak ngerti kenapa perasaan lo ke Zearka jauh lebih besar daripada ke keluarga lo, apa setelah ini Zearka mau ambil lo dari gue? Terus gue sendirian di sini? Lo seneng?" Tanya Shaka dengan mata yang merah dan berkaca-kaca.

"Kalau begitu p-pergi, pergi yang jauh sama Zearka, biarin gue sendiri.."

Shian memeluk Shaka dengan erat, ia meneteskan air matanya setelah mendengar kalimat frustasi yang keluar dari mulut Shaka.

"Jangan ada yang pergi lagi, sekarang yang gue punya cuma lo dan Zearka."

"Tapi gue gak butuh Zearka, Shian!"

"Gue butuh lo dan Zearka, tolong tenangin diri lo, jangan dibikin kacau kayak gini."

"Zearka yang bikin gue kacau! Kenapa lo selalu berpihak sama dia? Gimana kalau seandainya gue yang bunuh mama dan papa, apa lo bakal bersikap kayak gini juga? Nerima semuanya seolah takdir padahal gue yang bunuh! Dan lo bakal bersikap baik lagi sama gue? Gue yakin enggak, lo bakal benci sama gue!"

"E-enggak gitu, Shaka.." suara Shian gemetar lirih, air matanya menete semakin deras.

"Gimana bisa gue ngebenci sodara gue sendiri?" Shian mengenduekan pelukannya, ia mengakat kepalanya untuk menatap Shaka yang terlihat begitu marah.

"Udahan semuanya, gue cuma pengen kita kayak dulu lagi dendam gak akan ngembaliin semuanya."

Shaka mengepalkan kedua tangan di kedua sisi tubuhnya, ia pun menghela napas kasar, ia mendorong Shian hingga pelukannya benar-benar terlepas.

ZEARKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang