17 || Obat

626 87 7
                                    

Jam menunjukan pukul 9 malam, sudah 15 menit Zearka menunggu di sebuah gang yang lumayan jauh dari tempat tinggalnya, bahkan Razkal tak menjawab panggilannya, hal tersebut membuatnya kesal. Seharusnya ia sadar bahwa Razkal suka menjahilinya.

Zearka menghela napas lega saat melihat Sargas yang berjalan dari kejauhan, dengan Hoodie hitam serta topi yang menutupi surainya.

"Sorry lama, gue ngambil barangnya dulu di Razkal, soalnya dia mendadak ada urusan," ujar Sargas sambil menadahkan tangannya, "1,2 juta."

Zearka memberikan uangnya, dan Sargas menghitungnya sejenak, setelah dirasa cukup, Sargas pun memberikan satu kotak berwarna coklat padanya.

Zearka membuka kotak tersebut, "cuma dua?" Tanyanya setelah melihat ada dua alat suntik yang sudah terisi dengan heroin.

"Hm, satunya 600 ribu, kenapa? Lo keberatan?"

"Apa gak ada yang lebih murah?"

"Cuma itu yang stocknya banyak, kalau butuh lagi bilang gue," sahut Sargas sambil tersenyum dan menepuk-nepuk bahu Zearka, kemudian ia pergi dengan langkah cepat.

Zearka menghela napas lirih seraya mengantungi kotak tersebut, ia berjalan gontai berlawanan arah dengan Sargas, pikirannya tertuju pada kondisi tubuhnya akhir-akhir ini.

Ia kembali teringat dengan kejadian di atap sekolah, saat ia ditemukan Shian dalam kondisi lemah, sebelumnya ia bertemu Razkal, ia dipaksa meminum minuman yang rasanya biasa saja, namun efeknya membuatnya tenang dan lemas.

Kini ia sadar bahwa minuman itu mungkin sudah dimasuki sesuatu, mengingat efeknya sama saat Shaka menyuntikan heroin di tubuhnya, hingga di pemakaian kedua ia benar-benar tak bisa mengontrol diri untuk menginginkannya lagi.

"Zear!"

Bahu Zearka menegang saat melihat Zegas yang berjalan dari arah minimarket, namun dengan cepat ia mengubah ekspresinya setenang mungkin, walau jantungnya hampir meledak saat ini.

"Dari mana?" Tanya Zegas dengan tatapan bingung.

"Dari rumah temen."

"Gak bawa motor?"

"Enggak, tadi naik bus, kebetulan cuacanya lagi bagus, jadi enak aja gak bawa kendaraan. Abang sendiri ngapain di sini?"

"Abis belanja, udah makan malem?"

"Belum."

Zegas terdiam dengan dahi berkerut, matanya terus menelisik wajah Zearka yang terlihat pucat, "Zear sakit?"

Sontak Zearka tersenyum lebar, "enggak, cuma keringetan dikit, abis lari dari gang yang sepi, takut dipalak preman sana."

Zegas tersenyum kecil, ia merangkul Zearka menuju sebuah restaurant di sebrang jalan, "kita makan dulu, kebetulan abang juga belum makan."

Kini mereka makan malam bersama tanpa sepatah kata pun, sebab Zearka banyak diam, bahkan tangan kirinya terus memegang saku Hoodienya yang berada di depan, takut kotak tersebut jatuh di jalanan.

"Oh ya, abang cuma mau ingetin, Zear fokus belajar aja, abang bakal biayain Zear buat masuk universitas yang Zear mau."

"Zear mau kerja, bang."

"Enggak, kuliah dulu, abis itu kerja," ucap Zegas sambil menggeleng kecil, ia nampak serius dengan ucapannya.

"Dulu Zear bilang sama abang, kalau Zear pengen jadi dokter, sekarang abang udah punya uang buat biayain Zear sampai Zear jadi dokter," ucap Zegas lagi sambil tersenyum bangga, mengingat ia baru saja membuka beberapa cabang kafenya lagi di kota lain.

ZEARKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang