23 || Rasa lega

404 69 9
                                    

Zearka mengerang lirih, perlahan matanya terbuka dengan dahi mengerut dalam, cahaya lampu membuat matanya terasa perih.

Ia pun mengubah posisinya menjadi duduk dengan mata yang masih mengerjap, terdiam sejenak sambil mengedarkan pandangan ke sekitarnya, kamar yang asing, bahkan tak banyak perabotan di kamar tersebut, hanya ada lemari dan kasur saja.

Cklek

Zearka menoleh ke arah pintu, terlihat Dion yang menenteng totebag di tangannya, sepertinya Dion baru tiba dari suatu tempat.

"Makan dulu," setelah mengatakan itu Dion kembali menutup pintu, membuat Zearka menghela napas lirih.

Zearka ingat tentang semalam, ia memaksa Dion untuk memberikan obat itu, bahkan berulang kali membentak Dion, ia juga mendapat pukulan telak dari Dion.

Zearka ketakutan, takut Dion memberitahu Zegas soal ini, ia benar-benar belum siap, entah akan sekecewa apa Zegas jika mengetahui kondisinya akhir-akhir ini.

Tanpa berpikir panjang Zearka segera memasuki toilet untuk membersihkan diri.

Setelah selesai, ia menghampiri Dion di meja makan, ia duduk berhadapan dengan Dion yang terus menatapnya dengan tatapan dingin.

"Makan," titah Dion dengan suara rendahnya.

"Jangan bilang bang Zegas soal semalem."

"Gue juga gak tega sama Zegas buat ngaduin ini, dia udah susah payah jagain lo, bantuin lo, ternyata lo malah kayak gini," sahut Dion dengan telak, membuat Zearka terdiam seketika.

"Udah berapa lama lo make?"

"Hampir 5 bulan."

"Kenapa?" Dion terkejut dalam diam.

Zearka terdiam, ia bingung harus menjawab apa, ia tidak mungkin mengadukan soal Shaka dan Razkal yang memulainya lebih dulu.

"Seberat apa hidup lo sampe lo mutusin buat make obat itu? Lo pikir make obat kayak gitu bakal bikin hidup lo tenang? Enggak, obat itu bakal ngerusak hidup lo, sampai serusak-rusaknya," ujar Dion, dan Zearka tetap terdiam.

Zearka juga menyesal tak menahannya sejak awal, hingga kini ia tak bisa lepas dari obat tersebut.

"Lo harus direhabilitasi, gak mungkin selamanya lo hidup kayak gini," ujar Dion lagi.

"Gue bakal urus sendiri, gue yang bakal bilang sama bang Zegas nanti, jadi lo diem aja," sahut Zearka dengan suara pelan.

"Nanti? Kapan? Pas lo udah sekarat gara-gara overdosis obat?" Tanya Dion dengan tatapan kesal.

"Ini urusan gue, lo gak perlu ikut campur," sahut Zearka memberanikan diri, membuat Dion tersenyum remeh.

"Emang lo bisa apa tanpa Zegas? Kalau emang masih banyak masalah yang mau lo coba, lo jauh-jauh dari Zegas, gue muak liat Zegas bantuin lo terus, kasian dia juga."

"Gue gak pernah minta dibantuin bang Zegas—."

"Terus karena Zegas yang berinisiatif bantuin lo, lo jadi ngelunjak gini?" Dion menyela ucapan Zearka dengan cepat, ia terlihat sangat marah saat ini.

"Gue punya alasan kenapa gue kayak gini, gue gak pengen kayak gini, dan gue gak tau bakal berakhir kayak gini. Lo gak perlu ikut campur, gue bakal urus semuanya sendiri," pungkas Zearka, ia segera beranjak dari duduknya, memasuki kamar untuk mengambil jaket dan ponselnya.

"Lo bakal nyesel udah ngecewain Zegas berulang kali, emang sejak awal lo cuma parasit di hidup Zegas," ucap Dion, namun Zearka mengabaikannya, ia pergi dengan raut wajah kesal.

ZEARKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang