Dengan asumsi bahwa perjalanan bisnis yang tengah dilakukan Jaehyun adalah acara penting karena melibatkan kementerian perdagangan, Taeyong berpikir lelaki itu mungkin saja masih akan berada di sana hingga beberapa hari ke depan. Dan karena Hanbin pernah menempuh pendidikan master di Boston University, Taeyong tahu betul berapa jarak tempuh dari kota itu ke Jakarta; makan waktu tidak kurang dari dua puluh tiga jam perjalanan. Jadi ketika Jaehyun muncul di lobi BCI dua hari kemudian, menjelang petang ketika jam kerjanya telah berakhir dan dia masih bertahan di kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan, Taeyong tidak bisa tidak merasa terkejut.
Meski begitu, Taeyong tentu saja menerima Jaehyun dengan keramahan profesionalnya yang mengesankan. Mengabaikan kegembiraan samar nan ganjil yang seketika terasa begitu dia melihat lelaki itu lagi.
"Urusan di Boston sudah selesai, Pak Jaehyun?"
"Beberapa yang paling krusial, sudah," balas Jaehyun. "Sisanya bisa diurus asisten dan sekretaris saya."
"Tapi saya sudah mengirim report email-nya. Pak Jaehyun hanya perlu mengatakan pada saya, apa saja yang harus saya lakukan," pemuda itu diam sejenak. "Tidak harus pulang."
Walau sedikit merasa jengkel karena Jaehyun ternyata tak memberi respon, setidaknya Taeyong telah melakukan apa yang seharusnya dia lakukan.
"Kemarin kamu bilang, sebaiknya kita bertemu." Sahut Jaehyun. Dan Taeyong seketika terdiam, seperti merasakan deja vu. Pemuda itu lalu tertawa pelan.
"Saya jadi khawatir, jangan-jangan tiap kali saya bilang sebaiknya kita bertemu, Pak Jaehyun langsung otw seketika." Candanya.
Jaehyun balas tersenyum. "Itu kamu tahu."
"Ya jangan, Pak. Nanti malah merepotkan bapak." Taeyong masih tersenyum.
Senyum juga belum menghilang dari wajah Jaehyun. "Enggak lah. Menteri saja saya tinggalin demi kamu."
Taeyong tertawa lagi. "Aduh. Serasa jadi very very important person lah saya ini."
"Seharusnya itu nggak perlu kamu ragukan lagi."
Lalu senyum Taeyong sedikit memudar ketika dia menemukan itu lagi; tatapan lembut mendamba di wajah Jaehyun yang terlihat sedikit lelah.
Biasanya, Taeyong tak pernah gagal untuk mengabaikannya. Namun kali ini, dia merasakan ada keresahan janggal yang meresap di dadanya. Juga mengingat kenyataan menggelikan bahwa dirinya berulangkali mengecek kotak masuk email menunggu balasan dari report yang dia kirim. Atau kegamangan hampa yang kerap melanda hatinya semenjak Jaehyun menutup sepihak telepon darinya dua hari lalu.
"Jadi gimana, progresnya tetap nggak bagus?"
Taeyong tanpa sadar mendesah lega ketika Jaehyun mengalihkan pembicaraan pada topik yang memang seharusnya mereka bahas.
"Saya khawatir seperti itu, Pak."
"Ada kemungkinan bursa membuka suspend dalam waktu dekat? Jika iya, dijual saja seluruhnya."
"Seluruhnya?"
"Ya."
"Tapi bapak bisa rugi kalau seperti itu."
Jaehyun mengedikkan bahu. "Tidak sebesar jika tetap kita biarkan dan sama sekali tidak memberi revenue apa-apa."
Taeyong mengangguk. Keputusan itu hak Jaehyun sepenuhnya. Lalu mereka membahas beberapa masalah lain hingga hari mulai gelap. Di tengah-tengah pembicaraan, Jaehyun beberapa kali terlihat memijiti pangkal hidung dengan ekspresi lelah yang seperti berusaha dia tutupi.
Namun Taeyong bisa melihat itu, dan tak bisa mencegah diri tak bertanya. "Pak Jaehyun... capek banget kelihatannya?"
Lelaki itu mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
BANKIR (jaeyong)
Fanfiction[shortfic] [office AU] [semibaku] Taeyong adalah private banking officer, dan Jaehyun nasabah prioritas