Bankir 💵 20

3.7K 645 96
                                    

Minho dengan kesal melirik tajam pada kakaknya. Dan Jeno hanya menanggapi dengan kedikan bahu tak acuh.

"Selamat siang." Taeyong tersenyum ramah pada sepasang kembar yang luar biasa tampan itu.

Jeno yang sedang sibuk mengunyah, mengangguk dan tersenyum, lalu memberi isyarat agar pemuda cantik itu segera duduk bersama mereka. Minho terlihat masih agak kebingungan, namun mengangguk kaku pada Taeyong sebagai bentuk sopan santun.

"Makan sekalian, kak?" tawar Jeno.

Taeyong menggeleng. "Udah makan tadi." Balasnya. Namun dia tetap memanggil pelayan untuk memesan minum.

Taeyong dan Jeno lalu segera terlibat obrolan, terlihat seakrab sepasang teman yang telah lama saling mengenal. Minho dilibatkan tentu saja, namun remaja itu hanya sesekali menyahut, seakan enggan ikut bergabung dengan dua penghuni meja yang lain.

"Minho apa kabar?" sapa Taeyong ramah, ketika melihat remaja itu yang hanya terus diam.

"Aku baik." Balasnya.

"Saya senang sekali kita bisa ketemu seperti ini."

Minho mengernyit, menyadari sikap formal yang sedari tadi Taeyong tunjukkan, terasa sangat berbeda dengan keakraban lepas tanpa jarak yang diperlihatkan pemuda cantik itu di pertemuan pertama mereka. Minho, tidak menyukai itu.

"Ada apa kakak ke sini menemui kami?" tanya Minho, terdengar agak ketus. Lalu melirik sinis pada kakak kembar yang tengah menikmati semangkuk puding. Demi Tuhan, apa Jeno memang tidak pernah merasa kenyang?

"Kebetulan ada meeting di dekat sini."

"Nggak mungkin kebetulan," sahut Minho cepat.

Taeyong tersenyum mendengar itu. "Saya memang ingin ngobrol dengan kamu."

Minho terlihat semakin sinis. "Tentang apa? Tentang hubungan kakak dan daddy aku? Kalian kan sudah mau menikah? Mau tanya pendapatku? Apa masih perlu? Daddy saja nggak peduli sama aku!"

Taeyong melirik Jeno yang tak terlihat terkejut mendengar gerutuan adiknya. Dan terus asik melahap pudingnya.

"Kamu... nggak setuju dengan hal itu?" tanya Taeyong.

"Enggak."

"Kenapa, kalau boleh tahu?" Taeyong bertanya dengan tenang.

Minho tak langsung menjawab, menatap wajah cantik Taeyong. "Aku nggak mau punya ayah tiri."

"Hanya itu?"

"Kakak nggak bisa ya, cari laki-laki lain saja? Yang belum pernah menikah, yang nggak punya anak, gitu?" sergah Minho gusar.

"Laki-laki lain... misalnya?"

"Ya mana aku tahu?! Kan nggak mungkin yang mendekati kakak cuma daddy aku?" ketus Minho.

Taeyong tersenyum, kali ini terlihat agak geli mendengar gerutuan remaja itu. "Memang bukan. Tapi yang segigih itu sehingga layak untuk saya pertimbangkan, hanya dia."

Minho mendengus sinis. "Oh ya? Bukannya kakak memilih daddy aku karena dia lebih mapan dan kaya?"

"Apa ada yang salah dengan hal itu?" Taeyong bertanya balik.

Minho melirik Jeno yang telah melahap habis pudingnya, dan kini duduk tenang menyimak pembicaraan antara dirinya dengan Taeyong. Sang kakak mengangkat kedua tangan dengan ekspresi menyerah.

"Aku nggak ikut-ikut."

"Dasar kaki tangannya daddy." Maki Minho pelan. Jeno balas dengan senyum lebar yang melenyapkan sepasang matanya.

BANKIR (jaeyong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang