Dua hari berlalu semenjak pesta itu. Hal yang sampai saat ini Natasha sesali. Hal yang membuat dia sedikit benci dengan gaun, dansa, dan apapun tentang pesta. Berlebihan, tapi luka dalam hatinya lebih dari apapun. Sebelas tahun Natasha menunggu. Selama itu pula ia terbelenggu dengan harapannya sendiri. Malam itu dia menemukan jawaban segalanya. Apa yang ia nanti, tidak ingat akan janjinya sendiri.
"Tasha." Suara itu juga yang tidak lelah memanggilnya selama dua hari terakhir meski tidak ia beri respon, bahkan untuk membukakan pintu menyaut saja tidak.
"Nat, keluar! Lo gak cape ngurung diri dikamar lo dua hari?! Mentang-mentang ada makanan di kamar terus lo suka-suka hati ngurung diri lo sendiri kaya gini!" Teriakan itu juga yang terus membuat bising telinga dua hari terakhir, tetapi terkadang karena suara Anna yang bising Natasha mau menjawab sepatah dua patah.
Semua orang khawatir, Natasha tidak mau sama sekali keluar dari kamar semenjak malam itu. Ia bolos sekolah, makan dikamar dengan makanan seadanya yang ada di kulkas kecilnya. Tidak mau bertemu dengan papanya, apa lagi dengan Anna. Dia bahkan membiarkan mamanya pergi kembali berkerja tanpa rewel seperti biasanya. Arra pun sampai bingung menanggapi sikap putri bungsunya.
Dor! Dor! Dor!
"Natasha, keluar gak!?" Anna berteriak kesal, "lama-lama gue dobrok pintunya."
"Kak Anna, jangan kasar-kasar yang ada Natasha ga mau keluar," ucap Icha menghentikan Anna.
Anna mendengus kesal, "Ya sudahlah, capek gue. Mau berangkat shuting, titip adek gue ya Cha." Bagaimanapun Anna ia juga tetap mengkhawatirkan kondisi adiknya.
Icha mengangguk mengacungi jempol. "Siap, Kak Anna! Semangat shutingnya."
Kemudian Anna pergi dari depan pintu kamar Natasha.
Didalam kamar Natasha terdiam dibalik selimut. Mengabaikan keributan diluar. Matanya tertidur, tapi tidak dengan pikirannya. Wajahnya sembab dengan hidung memerah. Ia semakin meringkukan badannya kedalam selimut hangat. Sudah dua hari dua malam Natasha seperti itu. Tidur tanpa makan. Tidur tanpa mandi. Tidur setelah selesai menangis. Hanya itu yang ia lakukan.
Tiba malam ke tiga badan Natasha semakin lemah tanpa tenaga. Dia tidak sanggup hanya sekedar membuka mata dan beranjak dari tidur. Dua hari tanpa makan hanya mencari mati. Natasha memang tolol jika sudah terluka. Dia merintih diatas tempat tidurnya. Memanggil papa, mama, Anna, dan Icha. Namun, suaranya yang lirih tak mampu terdengar oleh siapapun.
"Gue bisa mati... Ternyata gue setolol itu cuma gegara lo," lirih Natasha masih bisa tersenyum setelah sadar kebodohannya sendiri.
Kalimat terakhir itu yang mampu Natasha ucapkan sebelum kesadarnya habis dan ia tak lagi mampu bertahan.
* * *
Suara senyap memenuhi atmosfer ruangan. Hanya hembusan nafas pelan yang terdengar. Juga dentingan jarum jam yang sedikit mengusir senyap. Gadis itu masih nyaman terlelap. Sampai pintu ruangan terbuka, seorang pemuda berjalan masuk menghampiri gadis itu.
Ia membawa setangkai bunga mawar merah. Mengganti bunga mawar di vas yang sudah layu. Kemudian ia tatap wajah gadis yang nyaman dalam tidurnya.
"Nana, lo ga mau bangun?" Suaranya lembut terdengar.
Ia meraih tangan gadis itu, mengusapnya lembut dalam genggamannya.
"Bangun, Na. Gue inget siapa lo."
Kelopak mata gadis itu seperti berkedut, pria itu tersenyum. "Nono kangen sama Nana. Bangun ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEET SEVENTEEN; Devano Danendra
Teen FictionNanti kalo Nono sama Sasa udah 17 tahun kita ketemu lagi ya. • • • Natasha Gabriella Namoru, dulu adalah seorang anak kecil yang menyukai sahabatnya sendiri. Hingga kini ia menginjak dewasa, perasaannya masih ia ingat jelas. Natasha harus berpisah d...