[8 - holding hands]

873 47 0
                                    

Arkana menatap jam tangan di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam 10 malam tapi Qiana masih saja sibuk bekerja.

Qiana bekerja sebagai asisten desainer, yang kini sedang membantu pengambilan gambar di pesisir pantai. Arkana cukup kaget sebab dia lulusan bisnis, tapi dia malah bekerja sebagai seniman.

Jika disuruh menebak alasannya, Arkana akan mengatakan kalau hanya lowongan kerja ini yang tersisa. Namun tebakannya salah sebab Qiana tampak sangat menikmati pekerjaannya.

Arkana menunggu dengan sabar. Memakan dua buah jagung bakar menjadi pengusir kebosanannya. Dia tetap memperhatikan Qiana dari kejauhan. Perempuan itu sering memijat bahunya namun senyum di wajahnya masih secerah matahari pagi.

Arkana meletakkan jagung lalu meneguk air putih. Qiana akan segera sampai di tempatnya duduk. "Dah selese?" tanyanya

Qiana mengangguk lalu menarik resleting jaket sampai ke atas. Arkana mengusap debu di sampingnya dan meminta Qiana duduk di sampingnya.

"Kamu pasti lapar, aku beliin nasi tadi." lanjut Arkana lalu membukakan kotak nasi milik Qiana.

"A-aku bisa buka sendiri," Qiana segera mengambil alih kotak nasi itu dan menancapkan sedotan ke aqua gelas dengan tangannya sendiri.

Arkana langsung bertanya, "Apa kita adopsi bayi aja ya?" dengan cara paling blak - blakan yang pernah ada. Suapan pertama Qiana hampir tersembur keluar.

Qiana menepuk - nepuk dadanya dan menegur air putih terlebih dahulu. "Kok bisa kamu kepikiran solusi itu coba?" tanyanya heran. "Kenapa harus bayi?" cecar Qiana tiada henti.

"Arman itu kolot. Dia ingin pewarisnya berasal dari darah dagingnya dan siapa yang peduli?" Arkana tertawa renyah, "Kita bakal kasih apa yang Arman mau. Gimana?"

"Gimana kalau papa tahu kalau bayi itu bukan milik kita?"

"Dia milik kita. Siapa yang bakal curiga kalau kita adalah sepasang suami istri yang saling mencintai?"

"A-aku nggak ngerti." gumam Qiana.

"Katanya S3 tapi lalot gini," sindir Arkana jenaka dan Qiana meletakkan kotak nasinya dengan semangat. "Aku lagi haid, otakku memang lelet kalau datang bulan. Lagian aku udah capek banget. Jelasin pakai kata - kata yang mudah di mengerti."

Arkana menghindari percakapan tentang penyebab pernikahan. Dia hanya perlu memikirkan solusi sebab pernikahan mereka sudah tidak bisa di batalkan.

"Kita harus akting kayak pasangan Qiana. Kita ikuti rencana Arman bahwa aku jatuh hati ke wanita yang lebih baik dari pacarku saat ini. Kita akan punya anak dan kamu, Qiana yang sangat pintar dan bijak akan menjadi ibu yang sempurna untuk pewaris Arman."

Qiana menusuk - nusuk mie tanpa ada gairah untuk melahapnya. "Itu kedengeran kayak solusi yang bagus." ujarnya lesu.

"Kamu masih nggak ada niatan buat mutusin pacarmu itu?"

Arkana mengangkat bahunya acuh lalu menatap ombak yang terus datang dan pergi. Enggan memberi jawaban. Qiana tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan.

"Kalau gitu jangan pernah sentuh aku tanpa izin lagi. Lagipula kamu nggak suka sama aku sedikit pun, kan?"

"Maaf tentang kemarin Qiana, aku memang bodoh banget." ujar Arkana secepat mungkin sambil menemperlkan telapak tangannya seperti emoji yang ramai digunakan mahasiswa.

"Aku bukannya nggak suka. Kamu cantik dan siapapun pasti mau miliki kamu tapi aku nggak bisa aja. Adopsi anak, itu solusi yang aku tawarin. Setelah anak itu tumbuh besar, kamu bisa minta cerai atau apapun itu." jelas Arkana dengan hati - hati.

"Aku cuma mikirin solusi yang bikin kita berdua nyaman. Kamu pasti nggak mau hamil sama orang yang nggak kamu suka bukan?"

"Iya.. aku memang nggak ada perasaan sama kamu." Sempat terlintas pikiran untuk mengaku namun itu hanyalah tindakan wanita bodoh. Qiana tahu kapan waktunya berhenti berharap. Arkana sudah menyukai orang lain dan tidak ada lagi kesempatan baginya.

"Oke." ujar Qiana dengan mantap. "Kita sandiwara dan adopsi bayi setelah beberapa bulan. Setelah 2 tahun nanti, aku mungkin bakal minta cerai."

"Yesh!" Arkana sontak memeluk Qiana saking senangnya. "Terimakasih Qiana.. kamu nggak tahu betapa leganya aku." ujarnya penuh rasa syukur.

Qiana segera mendorong tubuh laki - laki itu dan menunjuk wajah Arkana dengan jari telunjuknya. "Jangan sentuh aku sembarangan!" ujar Qiana penuh penekanan.

"Maaf.. kelepasan," jawab Arkana sambil mengangkat kedua tangannya seperti penjahat yang di todong pistol. Dia hanya tidak bisa menahan rasa leganya.

"Mau pulang sekarang?" tanya Arkana lagi lalu mengulurkan tangannya pada Qiana yang masih duduk. 

Qiana menaikkan alisnya, "Kamu ngerti artinya nggak boleh sentuh nggak sih?" ujarnya tak kalah kesal. Kalau Qiana tidak memberi batas yang tegas, dia akan susah move on.

"Arman punya mata - mata Qiana. Orang itu ada disini. Dia udah ngikutin aku sejak SMA sampai sekarang. Kalau kamu tidak keberatan, sandiwaranya sebaiknya dimulai sekarang. Hanya pegangan tangan."

Arkana menolehkan dagu wanita itu dengan lembut agar tidak menatap orang yang dimaksudnya. Dia meraih tangan Qiana lalu menggenggamnya dengan erat. Dia merangkul dan menuntunnya menuju mobil.

Qiana tidak berani menoleh sedikit pun. Dadanya berdebar dengan kencang saat mengetahui ada orang yang mengawasi mereka, lebih tepatnya Arkana.

"Dia masih ngikutin kita Ar." lapor Qiana khawatir. Dia meremas sabuk pengamannya dan terus - menerus memperhatikan kaca spion. Bahkan setelah mereka menjauh beberapa kilometer dari pantai, orang itu masih saja mengikuti mereka.

"Selamat datang ke duniaku Qiana. Dia nggak bakal berbuat buruk jadi kamu bisa tenang."

Qiana tidak tahu kehidupan Arkana yang ini. Selama ini dia hanya kenal Arkana dari layar ponsel dan beberapa konser kecil saat masa SMA dulu. Waktu itu Arkana tampak seperti orang paling bahagia bersama gitar dan teman satu bandnya.

Ternyata, di balik kemewahan yang Arkana miliki, ada tuntutan besar di belakangnya dan kehidupan seperti ini sama sekali tidak pernah ia bayangkan.

"Aku kira orang kaya kayak kamu nggak punya beban Ar."



[to be continued]

SINCERELY YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang