[11 - Resah]

821 46 1
                                    

Qiana meraih handuk. Mengusap kulit tangan dan kakinya dengan lembut. Kemudian ia mengenakan baju pendek dan rok panjang semata kaki. Rambutnya yang masih basah ia balut dengan handuk.

Tak lupa ia memakai pelembab wajah dan bibir sebelum meninggalkan kamar mandi. Dia berjalan melewati dapur dan berhenti di depan kulkas. Qiana berjinjit untuk meraih buku di atas kulkas itu.

"Arka bukunya masih tersegel. Kamu belum belajar sama sekali ya?" teriaknya.

Suara gitar yang memenuhi ruang tamu mengalahkan suara Qiana. Wanita itu pun berjalan dengan mantap ke sumber suara.

Sementara itu Arkana asyik dengan gitar, buku coretan dan pensil yang terselip di telinganya. Ia sibuk menulis dan mencoret beberapa kata pada buku itu. Memikirkan kalimat puitis lain lalu mencoba mengucapkannya bersamaan dengan nada gitar. Dia terus mengulang kegiatannya.

Sebuah buku tebal mendarat di atas meja. Menutupi buku catatan lirik milik Arkana. Laki - laki itu mendongak dan menemukan Qiana dengan wajah ditekuk.

"Buku yang aku kasih masih gitu aja di atas kulkas. Pasti belum kamu baca sama sekali."

"Sebentar lagi, males aja bawaannya lihat buku tebel kayak gitu."

"Males?" tanya Qiana seraya meraih ponselnya. "Oke kalau males, apa boleh buat. Ekhem, menurutku lebih baik diomeli papa atau belajar? Hm?" ancamnya sambil menggoyangkan layar ponselnya. Nama Suci tertera disana.

"Iya iya, astaga galak banget sih. Kayak singa aja."

"Jangan panggil aku kayak gitu."

"Jingin pinggil iki kiyik giti," ejek Arkana yang segera ia hentikan saat di tatap tajam oleh Qiana. Dia mengambil pensil dari telinga lalu menutup buku miliknya dengan berat hati.

"Singkirin mainan kamu, sekarang jadwalnya belajar." ujar Qiana tegas.

"Oke! Aku anterin gitarku ke studio dulu kalau begitu."

Qiana segera menghalangi langkah Arkana. "Aku yang simpan, kamu baca bukunya. Serahin gitarnya," pinta Qiana dengan tangan menengadah. "Kamu pasti mau curi - curi waktu kayak sebelumnya kan?" cecar wanita itu lagi.

Arkana kembali duduk dengan muka cemberut. Dia membuka plastik yang membungkus buku itu lalu membuka buku tebal yang terlihat membosankan itu.

"Baca, nih aku baca." ejek Arkana sambil melototi buku itu.

Qiana hanya cuek dan sibuk mengeringkan rambutnya yang masih basah. Tak jarang ia menyisir ke belakang rambut basahnya dengan jari. Dia masih mengawasi Arkana di ruang tamu itu dan pada akhirnya memutuskan untuk ikut belajar materi tesis salah satu profesornya.

40 menit berlalu..

Arkana sudah berulang kali menguap dan puluhan kali ingin menyerah. Sedangkan Qiana masih fokus di depan laptop dengan jari yang tidak berhenti mengetik.

Arkana terpikirkan sebuah ide jahil. "Ekhm, ini apa maksudnya Qi?" tanyanya.

Qiana langsung menjawab pertanyaan Arkana lalu melanjutkan ketikannya. Arkana tidak menyerah, dia menanyakan hal yang mengganjal di otaknya dan tentu saja pertanyaannya akan cukup sulit jika mengganjal di otak laki - laki itu.

Serangan Arkana tidak mempan. Qiana menjawab pertanyaan sulit dan banyak itu dengan tenang. Jawaban yang di dapat Arkana pun sangat jelas, padat dan mudah di mengerti. Tanpa Arkana sadari, dia ikut dalam alur tanya jawab.

Perlahan diskusi pelajaran serius tercipta begitu saja.

Qiana sampai menepikan laptopnya dan Arkana merubah duduknya sedikit condong ke depan. Keduanya ditarik begitu saja dalam sebuah topik. Arkana mendengarkan penjelasan yang diucapkan Qiana dengan baik.

SINCERELY YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang