[25 - Kelewatan]

611 34 0
                                    

Arkana menyelimuti tubuh Qiana dari ujung kaki sampai leher. Wajahnya masih pucat dan dihiasi oleh peluh di pelipis dan dagunya. Qiana tampak seperti sedang menahan sakit. Saat diminta menjelaskan rasa sakitnya, Qiana malah menjawab tidak tahu. Laki - laki itu duduk di pinggir kasur menunggu wanita itu benar - benar terlelap.

Ponsel miliknya telah kembali. Dia tidak mengatakan apapun pada Arsyaka sesuai janjinya pada Qiana. Wanita itu hanya sedikit lelah, itu sebabnya Qiana tidur lebih awal.

Arkana melipir dekat jendela kamar lalu menelpon Alifia yang berprofesi sebagai dokter dalam keluarganya. "Iya istriku, memangnya nama Qiana ada siapa lagi." Arkana memberi penekanan.

Sahutan Arkana yang cukup agresif membuat Alifia menghela nafas lelah. Walaupun demikian, Alifia tetap memberi Arkana sedikit arahan. Qiana sudah tenang dan menelan obat, maka langkah selanjutnya yaitu banyak istirahat dan makan yang teratur.

"Tunggu saja dulu keadaannya sampai besok pagi. Kalau bisa kalian segera pulang saja. Malam ini usahakan istirahat sebanyak mungkin."

"Iya dia sudah tidur. Tapi aku masih khawatir," ujar Arkana sendu.

"Hampir semua sumber penyakit berasal dari pikiran. Usahakan jangan sampai dia stress lagi. Lagipula, apa saja yang kalian lakukan disana sampai anak itu pingsan?"

"Panggil Qiana dengan namanya kak," sela Arkana dengan cepat. Kemudian ia melirik ke sebelah kanannya untuk memastikan Qiana tidak terganggu oleh percakapannya dengan Alifia. "Jadwal Qiana sebulan lalu sangat padat dan seminggu setelah ini akan lebih sibuk lagi. Dia terlalu capek kurasa. Barusan mati lampu selama berjam - jam. Lalu kemarin Qiana hampir tenggelam," jelas Arkana ragu - ragu di akhir kalimatnya.

"Astaga anak itu ceroboh sekali! Kalau papa mendengarnya kamu akan dalam bahaya!" tukas Alifia. "Tapi kamu tenang saja. Kakak nggak akan memberitahu papa atau mama mengenai hal ini. Tapi kamu harus menjaganya dengan baik. Bagaimana pun dia sudah menjadi tanggung jawabmu."

"Iya, aku mengerti kak."

Arkana kembali menelisik wajah Qiana yang sudah terlelap. Seperti biasa, ia menyingkirkan poni wanita itu yang menusuk - nusuk matanya. Tidak sengaja menemukan bekas luka itu lagi. Kini ia mulai penasaran dari mana asal luka itu. Kecerobohan apa yang Qiana lakukan, atau mungkin siapa yang melukainya sampai seperti ini. Dia akan mencari jawabannya suatu hari nanti.

Melihat wajah tenang Qiana membuatnya ikut mengantuk. Dulu dia sangat kuat begadang sampai larut malam. Saat berjalan mengitari kasur, kakinya menyepak sebuah kotak pensil berukuran sedang. Isinya sampai berceceran di lantai. Bukan alat tulis yang keluar dari sana. Melainkan obat - obatan yang beragam jenisnya. Mulai dari obat berbentuk kapsul yang berwarna putih sampai merah. Selain itu ada obat - obatan pil dengan berbagai ukuran.  

Arkana menggelengkan kepalanya tidak percaya, "Ini sudah kelewatan."

[ ... ]

Pukul sepuluh malam. Seorang siswi berseragam putih abu itu menginjak genangan air dan hampir terpeleset. Walau begitu ia masih tetap berlari seperti orang yang kesetanan.

Atasan putih gading lusuh dan rok setengah tiang itu tidak berubah selama tiga tahun. Ia sudah bergantung padanya tanpa ada niatan untuk membeli yang baru. Ada beberapa permen karet di rambut panjangnya. Sepatu butut yang di kenakan siswi itu basah kuyup lantaran kejahilan teman satu sekolah. Namun ia masih tetap berlari kencang.

Tidak peduli penampilannya seperti apa. Dia masih berlari sekuat tenaga di bawah langit malam. Bahkan jika dia menjatuhkan dompetnya pun ia pasti akan meninggalkannya. Apalah artinya uang atau penampilan rapi kalau ia tidak bisa selamat sampai esok pagi. Ia harus terus berlari.

SINCERELY YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang