[20 - Pengakuan]

713 41 1
                                    

Rekaman lagu dan pesan suara yang ia kirimkan pada Qiana tadi malam menghancurkan seisi rumah seperti bom atom. Bukan kekacauan atau kebakaran yang dibawa bom itu, melainkan ledakan penuh bunga warna - warni. Kekacauan memang terjadi, tapi itu terjadi di dalam hati dan pikiran Qiana.

Perasaan canggung menyambut mereka di pagi hari. Qiana yang tidak sengaja bertemu mata dengan Arkana langsung berbalik badan dan mencuci tangannya di wastafel dapur.

Arkana mengalihkan perhatiannya pada beberapa tas di atas meja ruang tamu. "Barang - barang yang perlu dibawa cuma ini?" tanyanya berusaha menarik perhatian Qiana.

"Iya, tolong bawakan tas biru juga."

"Yang ini?" tanya Arkana sambil mengangkat tas biru. Tindakannya berhasil membuat Qiana menoleh dan lagi - lagi wanita itu mengalihkan pandangan dengan cepat.

"I-iya." jawab wanita dengan cepat lalu kembali memasukkan lauk dalam wadah.

Arkana menggosok ujung hidungnya untuk menutupi senyum tipisnya. Menikmati tingkah lucu Qiana yang menggemaskan. Kemudian ia memindahkan barang bawaan mereka ke dalam mobil. Setelah selesai, dia menghubungi Arsyaka dan Adam. Mengingatkan para heavy sleeper itu untuk segera bersiap - siap agar jadwal liburan mereka tidak molor.

"Wah mau liburan?" tanya ibu - ibu yang lewat di depan rumah mereka.

Arkana mematikan telepon dan menyapa mereka dengan ramah. "Iyah Bu, mumpung tanggal merah." jawabnya kemudian menata beberapa tas di bagasi.

"Masih mesra ya, belum ada anak juga jadi lebih bebas." lanjut ibu lainnya.

"Ya begitulah Bu."

Suara melengking ibu - ibu terdengar sampai ke dalam rumah. Qiana yang menyibukkan diri dengan ranjang makanan menjadi penasaran apa yang Arkana lakukan pada ibu - ibu penyuka gosip itu. Dia ingin segera menghampiri namun langkahnya terhenti kala teringat sesuatu.

Qiana memeriksa kembali barang bawaan mereka dengan seksama. Teh herbal, obat - obatan, peralatan mandi, beberapa alat makan dan yang terakhir riasan wajahnya. Dia mengeluarkan scruncie putih yang dulu ia dapatkan dari Arkana. Sekelebat nada lagu itu muncul kembali di kepalanya. Wajah Qiana langsung memerah sehingga keinginannya memakai benda itu pun sirna. Ia menyimpan kembali ikat rambut itu dalam lacinya.

Arkana mengambil alih ranjang makanan dari tangan Qiana yang baru saja tiba di sekitar mobil. Qiana mengalihkan pandangan darinya lagi. Wanita itu segera menyapa ibu - ibu tadi agar lepas dari Arkana yang sering memperhatikannya lebih dari biasanya.

"Pagi Bu," sapa Qiana ramah.

"Sudah cantik saja pagi - pagi." sapa balik ibu itu. Kemudia dia menyenggol lengan teman di sampingnya, "Oh iya, anak saya yang baru menikah sebulan lalu sudah hamil. Kapan kalian punya anak?"

Arkana dan Qiana saling bertatap - tatapan canggung. "Haha nanti bakal ada waktunya Bu." jawab Qiana canggung.

Dua ibu paruh baya itu mendekat dan melirik Arkana yang masih sibuk memindahkan barang. "Mbak, apa suaminya nggak kuat mangkanya nggak hamil?" ujar ibu itu. Wajah Qiana perlahan memerah saking malunya.

"Oh iya, saya punya jamu yang manjur buat suaminya. Saya jamin pasti langsung jadi." sahut ibu lainnya lagi.

"Nggak usah repot - repot Bu. Saya minta doanya saja, semoga cepet dikasih rejeki." ucap Qiana seraya mempertahankan senyum palsunya.

Qiana melirik Arkana, telinga laki - laki itu berubah menjadi sangat merah. Walau tidak melihat wajahnya, Qiana yakin Arkana pun malu mendengarnya.

"Ya sudah kalau begitu, saya pamit dulu ya." ujar kedua ibu - ibu itu.

SINCERELY YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang