[6 - Bercanda]

859 47 0
                                    

Sudah lewat 2 hari lamanya sejak kejadian itu terjadi. Semua orang bersikap seperti biasa, sama seperti Qiana yang masih menginap di rumah mertuanya. Suci dan Arman pun masih ramah dan baik padanya. Alifia dan Arsyaka juga akrab seperti biasa.

Hanya Arkana yang menghilang dari meja makan ini. Namun tidak ada satu pun yang mengetuk pintu kamar atau mencarinya. Entah apa yang terjadi, mereka bersikap seolah tidak ada hal apapun yang terjadi sebelumnya.

Hal aneh lainnya yaitu entah bagaimana ceritanya dia selalu gagal bertemu dengan Arkana. Hanya Arsyaka yang menemaninya dan kedekatan mereka sering diganggu oleh Alifia, yang menegaskan kalau kamar Arsyaka tidak boleh terlalu sering di kunjungi.

Qiana hanya perlu bertahan satu malam ini saja. Jika malam ini gagal menemui Arkana, dia akan pulang saja ke rumah. Qiana sudah memutuskan dan malam ini ia harus mengawasi pintu kamar itu dengan seksama.

Qiana duduk sendirian di sofa ruang tamu. Lampu ia matikan hingga tersisa pencahayaan remang dari lampu . Dia mengenakan baju tidur lengan pendek, rok panjang yang menutupi mata kakinya dan kaos kaki warna pink yang lucu.

Dia melipat kedua lengannya di atas kepala sofa. Menaruh dagunya di atasnya dan terus menatap pintu kamar Arkana yang selama 2 hari ini tidak pernah terbuka. Sudah 2 jam ia bersiaga dan semua orang sudah tidur.

"Arka kamu nggak lapar apa?" gumam Qiana dengan mata sayu yang sudah sangat berat. Kini ia bersandar pada sofa, menatap samar - samar pintu kamar Arkana. Matanya tidak kuat lagi terbuka dan dia pun terlelap.

Tepat setelah Qiana menutup sempurna matanya, seseorang muncul dari anak tangga. Semakin lama semakin jelas hingga ia sampai di anak tangga terakhir. Dia menanggalkan earphone dan melangkah mendekati Qiana. 

Arkana heran kenapa Qiana masih saja disini. Dia menoel hidung Qiana pelan, "Udah dibilangin pergi juga." bisiknya.

"Ketangkap kamu!" ujar Qiana tiba - tiba sambil memegang tangan Arkana.

"ANJIN-" Qiana menutup mulut Arkana dengan cepat. "Ih mulutnya kenapa kotor banget sih. Ngomong jorok terus." omel Qiana setelah berhasil membuat suara Arkana teredam.

"Lagian kamu ngagetin," balas Arkana lalu ia melangkah menuju kamarnya.

Qiana segera mengikutinya. Kali ini dia memegang ujung baju Arkana agar bisa ikut masuk dalam kamar. Anehnya kali ini Arkana tidak mengusirnya dengan kasar seperti dulu.

"Nggak usah narik - narik."

"Aku mau ikut."

"Ini udah malem, kamu tidur di kamarmu aja sana."

"Ini kan lagi jalan ke kamar." ujar Qiana berani. "Hehe.." kekehnya setelah itu.

"Yaudah ayok." ujar Arkana setelahnya.

Entah sejak kapan percakapan mereka menjadi ringan seperti ini. Mungkin sejak Arkana mengucap permintaan maaf kemarin malam.

Arkana langsung merebahkan badan ke ujung kasur. Dia melipat kedua lengan dan menutup matanya. Membuat alasan agar Qiana tidak mengajaknya bicara.

Qiana memperhatikan kamar ini, berantakan dan terasa dingin. Gitar, piano dan peralatan musiknya hancur semua. Gorden jendela juga rusak seperti habis di tarik sehingga sinar bulan masuk menerangi kamar.

Arkana tidur membelakanginya. Dia tidur meringkuk. Melihatnya seperti itu mengingatkan Qiana pada pemandangan mengerikan dimana Arkana meringis kesakitan 2 hari lalu. Dia tampak seperti serigala penyendiri, yang dikucilkan dari kaumnya.

"Kalau mau tidur disini boleh aja tapi jangan ngorok."

Qiana ikut naik ke kasur dengan hati - hati. Namun bukan untuk tidur. Dia menatap punggung Arkana dan memberanikan diri untuk memulai percakapan.

SINCERELY YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang